Aku harap, ini adalah penyesalan kedua terbesarku yang harus
aku akhiri. Tak boleh ada lagi kejadian penyesalan untuk kesekian karena
keegoanku, keras kepala, tak sadar diri, dan segala sifat buruk yang aku punya.
Karena akibatnya, pasti aku sendiri yang menanggungnya.
Cukup sudah aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi.
Setelah mama yang pergi untuk kembali kepada-Nya tanpa bisa aku temui di detik
terakhir kehidupannya, kini aku juga harus merelakan kepergian seseorang yang
aku sayangi lainnya. Tak ada yang bisa menebak siapa yang akan pergi
selanjutnya setelah ini. Padahal sebelumnya, kami pernah berjanji untuk saling
melengkapi. Sayangnya, lagi-lagi sifat buruk dari diriku yang menguasaiku
ditambah dengan segala godaan dan tekanan sekitar, aku seolah melepaskannya setelah
perjuangan beratnya. Selanjutnya kini, aku kembali harus menyesali diri.
Kapan aku bisa berubah? Mana pembuktian bahwa aku telah bisa
memperbaiki diriku? Mana?
Kejadian-kejadian buruk masih saja menimpaku. Keangkuhan
yang tanpa sadar muncul, juga masih merajaiku. Apa lagi setelah ini? Apa lagi?
Ada kalanya terkadang, aku pintar membaca situasi. Namun sayangnya,
kali ini aku sangat bodoh melihat keadaan. Sesuatu yang sudah kentara di depan
mata saja, aku tak bisa memprediksinya. Hingga akhirnya, aku hanya bisa
menerima akibatnya sekarang.
Hidup sebagai seorang wanita sepertinya memang hanya bisa
pasrah menerima. Hanya bisa sekedar mencoba memberikan pilihan, tapi tak bisa
benar-benar menetapkan pilihan.
Kini, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Tak ada lagi yang
harus aku perjuangkan. Yang telah kami lakukan, tak ada hasilnya. Atau lebih
tepatnya, yang dia usahakan hanya berbuah kekecewaan.
Aku tak bisa menyalahkan dia, sebab yang salah telak jelas
aku. Aku tak bisa dikatakan berjuang, sebab yang telah mati-matian berusaha
adalah dia.
Perseteruanku dengan orang-orang disekitarku bukan bentuk
perjuangan, itu hanya sekedar pertahanan belaka. Kecamuk diri yang terjadi pada
diriku sendiri bukan perjuangan. Itu hanya sekedar upaya untuk menyadarkan
diri. Apa yang aku lakukan itu ga ada artinya. Itu bukan bentuk usaha, bukan
bentuk perjuangan!
Sikap diamku bukan untuk menyadarkan diri, justru semakin
membuat salah satunya semakin serba salah. Tak ada sama sekali perjuangan dan
usaha dariku, tak ada!
Aku benar-benar butuh
memperbaiki sifat dan sikapku. Jika tidak, akan semakin banyak lagi penyesalan
dan kesedihan yang pantas untuk aku telan sendiri.
Aku harus tau bagaimana kerasnya berjuang. Aku harus bisa
mengorbankan kebahagiaan diri sendiri jika memang ingin tau bagaimana pahitnya
mengalah.
Aku tak bisa selalu bisa menang sendiri.
Semoga, ini yang terakhir.
Tuhan, aku titipkan dia, mereka yang aku sayangi dalam
kebahagiaan bersamamu. Bila akhirnya, aku harus benar-benar menyadari bahwa
cinta itu tak harus memiliki, biarkan mereka bahagia tanpa aku di sisi mereka.
Meskipun akan sangat menyayat hati melihat mereka bahagia tanpa diriku,
setidaknya, ada sosok yang bisa membuat senyum mereka merekah. Menjadi yang
terabaikan sepertinya memang sudah menjadi bagian dari kehidupanku. Menjadi
yang selalu menyesal di kemudian hari, memang sudah pasti aku yang alami. Aku
hanya bisa mengecap kebahagiaan sepintas saja.
No comments:
Post a Comment