Wednesday, December 14, 2016

Kebahagiaan Sepintas Saja

Aku harap, ini adalah penyesalan kedua terbesarku yang harus aku akhiri. Tak boleh ada lagi kejadian penyesalan untuk kesekian karena keegoanku, keras kepala, tak sadar diri, dan segala sifat buruk yang aku punya. Karena akibatnya, pasti aku sendiri yang menanggungnya.
Cukup sudah aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Setelah mama yang pergi untuk kembali kepada-Nya tanpa bisa aku temui di detik terakhir kehidupannya, kini aku juga harus merelakan kepergian seseorang yang aku sayangi lainnya. Tak ada yang bisa menebak siapa yang akan pergi selanjutnya setelah ini. Padahal sebelumnya, kami pernah berjanji untuk saling melengkapi. Sayangnya, lagi-lagi sifat buruk dari diriku yang menguasaiku ditambah dengan segala godaan dan tekanan sekitar, aku seolah melepaskannya setelah perjuangan beratnya. Selanjutnya kini, aku kembali harus menyesali diri.

Kapan aku bisa berubah? Mana pembuktian bahwa aku telah bisa memperbaiki diriku? Mana?
Kejadian-kejadian buruk masih saja menimpaku. Keangkuhan yang tanpa sadar muncul, juga masih merajaiku. Apa lagi setelah ini? Apa lagi?
Ada kalanya terkadang, aku pintar membaca situasi. Namun sayangnya, kali ini aku sangat bodoh melihat keadaan. Sesuatu yang sudah kentara di depan mata saja, aku tak bisa memprediksinya. Hingga akhirnya, aku hanya bisa menerima akibatnya sekarang.
Hidup sebagai seorang wanita sepertinya memang hanya bisa pasrah menerima. Hanya bisa sekedar mencoba memberikan pilihan, tapi tak bisa benar-benar menetapkan pilihan.
Kini, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Tak ada lagi yang harus aku perjuangkan. Yang telah kami lakukan, tak ada hasilnya. Atau lebih tepatnya, yang dia usahakan hanya berbuah kekecewaan.
Aku tak bisa menyalahkan dia, sebab yang salah telak jelas aku. Aku tak bisa dikatakan berjuang, sebab yang telah mati-matian berusaha adalah dia.
Perseteruanku dengan orang-orang disekitarku bukan bentuk perjuangan, itu hanya sekedar pertahanan belaka. Kecamuk diri yang terjadi pada diriku sendiri bukan perjuangan. Itu hanya sekedar upaya untuk menyadarkan diri. Apa yang aku lakukan itu ga ada artinya. Itu bukan bentuk usaha, bukan bentuk perjuangan!
Sikap diamku bukan untuk menyadarkan diri, justru semakin membuat salah satunya semakin serba salah. Tak ada sama sekali perjuangan dan usaha dariku, tak ada!
 Aku benar-benar butuh memperbaiki sifat dan sikapku. Jika tidak, akan semakin banyak lagi penyesalan dan kesedihan yang pantas untuk aku telan sendiri.
Aku harus tau bagaimana kerasnya berjuang. Aku harus bisa mengorbankan kebahagiaan diri sendiri jika memang ingin tau bagaimana pahitnya mengalah.
Aku tak bisa selalu bisa menang sendiri.
Semoga, ini yang terakhir.

Tuhan, aku titipkan dia, mereka yang aku sayangi dalam kebahagiaan bersamamu. Bila akhirnya, aku harus benar-benar menyadari bahwa cinta itu tak harus memiliki, biarkan mereka bahagia tanpa aku di sisi mereka. Meskipun akan sangat menyayat hati melihat mereka bahagia tanpa diriku, setidaknya, ada sosok yang bisa membuat senyum mereka merekah. Menjadi yang terabaikan sepertinya memang sudah menjadi bagian dari kehidupanku. Menjadi yang selalu menyesal di kemudian hari, memang sudah pasti aku yang alami. Aku hanya bisa mengecap kebahagiaan sepintas saja.

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...