A Model Formalisme Sastra
1. Karakteristik Formalisme
Formalis lahir akibat ketidakpuasan dengan penelitian ekspresivisme yang mengandalkan data biografis. Formalis juga menentang karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim dari perasaan masyarakat. Ciri khas kaum formalis dalam kajiannua selalu tak setuju adanya perbedaan antara bentuk dan isi. Bentuk dan isi menurut mereka dapat didekati dari fungsinya, yaitu fungsi estetika sehingga menjadi karya sastra.
Penelitian formalis sastra biasanya berkiblat pada paham formalis Rusia. Dari aspek keilmuan, formalis sering dianggap paling menonjol dan dianggap sebagai tonggak keilmiahan penelitian sastra. Oleh karena itu, melalui hubungan perangkat struktur karya sastra akan dibangun sebuah keutuhan makna yang memenuhi standar ilmu. Perangkat struktur ini yang dinamakan unsur instrinsik karya sastra, dan unsur ini yang menjadikan penelitian struktural karya sastra lebih optimal.
Kaum formalis menekan dua konsep dalam penelitian sastra, yaitu defamiliarisasi dan deotomatisasi. Defamiliarisasi adalh konteks sifat sastra yang aneh atau asing. Keanehan tersebut sebagai hasil sulapan pengarang dari bahan-bahan netral. Para pengarang memiliki kebebasan menyulap teks sastra yang sangat berbeda dengan suasana sesungguhnya. Akibatnya, teks sastra boleh saja sulit dikenali karena menggunakan bahasa spesifik. Dalam hal ini, teks sastra kehilangan otomatisasi (deotomatisasi) untuk dipahami pembaca.
Para formalis juga memperkenalkan dikotomi struktur sastra (yang teroganisir) dan bahan mentah (tak terorganisir), menggantikan dikotomi lama tentang bentuk dan isi. Kaum formalis juga lebih terfokus meneliti aspek-aspek penyulapan ataupun pengasingan dari material sastra menjadi cipta seni sastra yang unik. Penyulapan sendiri ialah daya juang estetika untuk membungkus kenyataan menjadi sebuah imajinasi menarik. Dan pengasingan adalah proses kreatif yang mampu menciptakan dunia tersendiri dalam sastra. Melalui pengasingan, sering terjadi unsur-unsur sastra yang menyolok dan di luar dugaan.
2. Analisis Formalis
Analisis formalis lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus analisis adalah pada efek-efek estetik yang dihasilkan oleh saran-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan dengan serta dihubungkan dengan ekstra sastra.
Kaum formalis lebih menekankan kajian sastra dalam kerangka linguistik. Dimana, karya sastra dipandang memiliki kekhususan dalam estetika dan stilistika. Kebebasan seorang penulis memainkan bahasa, akan menjadi sorotan utama analisis formalis. Dalam penelitian teks naratif, kaum formalis menekankan unsur-unsur cerita (fabula), alur (sjuzet), dan motif (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:26-30).
Motif merupakan kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan. Adapun alur adalah penyusunan motif-motif sebagai akibat penyulapan terhadap cerita. Alur bukan sekedar susunan peristiwa melainkan juga sarana yang dipergunakan pengarang untuk menyela dan menunda cerita.
B. Model Strukturalisme Murni
1. Prinsip Strukturalisme
Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini, karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.
Strukturalisme seebnarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Menurut Junus (1990:1) strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern. Namun ada kesamaan antara strukturalisme dan formalisme, dimana keduanya sama-sama mencari arti dari teks itu sendiri. Tetapi, melalui kehadiran Levi-Strauss dan Propp yang mencoba menganalisis struktur mitos, strukturalisme berkaitan pula dengan filsafat. Strukturalisme mampu menggambarkan pula pemikiran pemilik ceritera. Hal ini berarti bahwa strukturalisme baik dalam sastra modern maupun sastra tradisional, tetap akan berhubungan dengan hal-hal di luar struktur.
Menurut Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) strukturalisme mengandung tiga hal pokok, yaitu pertama, gagasan keseluruhan (wholness), berarti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah instrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Dan ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca. Pendek kata, strukturalisme menekankan pada otonomi penelitian sastra.
2. Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme
Penelitian struktural dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Dengan tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat sebagaimana cipta estetis. Peneliti strukturalis biasanya mengandalkan pendekatan egosentrik, yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks itu sendiri.
Dalam penelitian struktural, penekanan pada relasi antar unsur pembangun teks sastra. Unsur teks hanya memperoleh arti penuh melalui relasi, baik relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi oposisi biasanya lebih berkembang pada dunia antropologi, sedangkan dunia sastra banyak menggunakan relasi asosiasi.
Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekanan aspek instrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah ‘artefak’ (benda seni) yang bermakna. Artefak itu terdiri dari unsur dalam teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa, dan sebagainya yang saling terjalin rapi. Jalinan antar unsur tersebut akan membentuk makna yang utuh pada sebuah teks.
Beberapa kelemahan dari strukturalisme yaitu melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
Analisis strukturalisme biasanya mengandalkan paham positivistik, yaitu berdasarkan tekstual. Peneliti membangun teori analisis struktural yang handal, kemudian diterapkan untuk menganalisis teks. Metode positivistik ini biasanya juga sering digunakan kaum formalis, yang mempercayai teks sebagai studi utama. Yang menjadi problem analisis strukturalisme antara lain pada pemilihan data teks.
3. Langkah Kerja
Langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural adalah sebagai berikut:
a. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
b. Peneliti melakukan pembacaan sastra cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
c. Unsur tema, sebaiknya dilakkan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
d. Setelah menganalisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa.
e. Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur.
f. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bias dan menghasilkan makna yang mentah.
No comments:
Post a Comment