Friday, April 25, 2014

sekolah, ayo sekolah

Bagaimana rasanya jika kamu tak bisa membaca deretan huruf yang tertera dimana saja? Bagaimana pula rasanya jika kamu tak mengetahui wujud angka 1, 2, 3, 100, 1000 dan seterusnya? Menjadi bodoh bukanlah pilihan, menjadi bodoh bukan pula suatu keinginan, tapi bukan berarti kebodohan harus terus menempel pada diri kita, bukan?
Pada bingung kan sebenarnya dengan maksud paragraf pertama di atas? Kenapa juga ngomongin soal kebodohan? Tapi pada sadar ga kalo ternyata di negeri kita ini tingkat kebodohan cukup tinggi? Kebodohan dalam arti tingkat kemampuan dalam ilmu pengetahuan. Kalo mau mengartikan kebodohan dibidang lain, ya terserah aja, suka-suka kalian deh.

Ada satu novel pendidikan yang mengangkat suatu fenomena yang sempat menghebohkan jagat Indonesia beberapa tahun silam. Ingat kasus Ponari? Itu loh, si dukun cilik yang bisa menyembuhkan banyak orang dengan hanya memberikan air minum yang telah dicelupi batu bertuah miliknya. Beribu-ribu orang rela mengantri untuk mendapatkan segelas air itu. Sampai-sampai sekolah Ponari pun terbengkalai karena harus menyembuhkan pasien-pasiennya. Nah, cerita itu yang diangkat kembali oleh sang penulis, Wiwid Prasetyo. Lebih kurang ceritanya ya seperti itu. Hanya saja, di sini, lebih menitikberatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, kebodohan, hal-hal klenik, dan desa.
Tokoh utama yang diceritakan ini bernama Ponijo. Penduduk desa Balongsari, Jawa Timur, yang tiba-tiba menjadi terkenal karena ia memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit dengan bantuan batu petir yang didapatkannya saat ia terkena petir ketika bermain layang-layang. Awal mulanya, batu itu hanya batu biasa. Entah dari mana seketika datang keyakinan dari dalam hatinya bahwa batu itu dapat menyembuhkan penyakit. Kebetulan pula adiknya sedang sakit keras. Ponijo bersikeras bahwa yang menyembuhkan adalah dirinya, bukan dokter yang dikirim oleh Koh Tjik Hwa untuk membantu keluarganya. Bapak dan ibunya telah membantah keras apa yang dikatakan oleh anaknya. Namun, Ponijo sendiri entah mengapa menjadi angkuh dan tak mau mendengar apa kata orang tuanya. Ia pun menceritakan kepada teman-temannya mengenai batu petirnya itu. Bersama Dullah dan Sarpin, Ponijo pergi ke Bukit Salak untuk menemui seorang yang sakti guna menanyakan batu petir itu. Namun yang ada, orang sakti itu meminta Ponijo untuk melupakan perihal batu petirnya dan lebih baik fokus untuk belajar demi masa depannya. Ketiga anak ini kecewa bukan kepalang.
Orang-orang menyemut datang ke rumah Ponijo mengantri minta disembuhkan. Mereka sangat percaya dengan Ponijo dan batu petirnya. Orang-orang kampung berbondong-bondong membantu keluarga Ponijo agar segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Orang tua Ponijo tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sendiri sebenarnya sangat tidak setuju dengan apa yang dilakukan anaknya. Mereka takut anaknya menjadi syirik karena percaya kepada batu. Mereka pun tak mau orang-orang yang lain ikut menjadi pengikut setan dengan mempercayai air celupan batu petir Ponijo dapat menyembuhkan penyakit.
Namun pada akhirnya Ponijo menyadari bahwa apa yang dilakukannya jusrtu berdampak buruk pada dirinya sendiri. Ponijo sulit konsentrasi saat bersekolah dan fokus untuk belajar. Ia terlalu kelelahan menangani pasien yang jumlahnya bisa sampai ribuan dalam satu malam. Untuk bisa menghentikan prakteknya, Ponijo bersiasat dengan mengatakan kepada orang-orang bahwa batunya terjatuh ke dalam jamban. Sempat terjadi kekecewaan, akan tetapi pasien Ponijo yang sangat maniak padanya rela membongkar septitank jamban dirumahnya. Mereka percaya, isi septitank itu ikut keramat karena terkena batu petir Ponijo. Mereka mandi dengan kotoran manusia. Sungguh nekat dan gila tingkah pasien Ponijo. Padahal, Ponijo masih menyimpan batu itu disakunya. Melihat kejadian yang menghebohkan tersebut, Ponijo diamankan oleh pihak keamanan agar Ponijo dan keluarga tidak diamuk massa.      
Nah, kalo ngebaca buku ini, emang sangat menghadirkan bagaimana tingkah laku penduduk Indonesia yang mudah percaya akan sesuatu berbau magic. Penduduk kita terlalu mudah kemakan omongan yang belum tentu kebenarannya. Kebodohan seperti itu seolah menjadi ciri penduduk dinegeri ini. Penyampaian dalam buku ini tidak menggurui, namun meminta kita untuk merenungkan setiap kata demi kata yang tertulis. Kalo kata anak muda sekarang, “dalem banget!”
Kalo sih, sangat menyarankan bagi kalian yang ngaku sebagai pencinta buku dan juga peduli dengan bangsa ini (walah, lebay) ada baiknya kita berkaca dari novel ini. Direkomendasiin abnget deh! Selamat membaca... :D

Biodata buku:

Judul                  
: Sekolah, Ayo Sekolah
Penulis                : Wiwid Prasetyo

Penerbit              : Diva Press

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...