Bahasa tidak baku ialah bentuk bahasa yang biasa
memakai kata-kata atau ungkapan struktur kalimat, ejaan, dan pengucapan yang
tidak biasa dipakai oleh mereka yang berpendidikan atau seringkali dianggap
tidak benar. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat seorang ahli, yatu Stewart
(1968), “the codification and acceptance,
within a community of users, of a formal set of norms defining ‘correct’ usage.
(kodifikasi dan persetujuan dalam masyarakat pemakai akan seperangkat
formal norma-norma yang membatasi pemakaian yang ‘benar’.) (Fishman,ed,1968:534).

Bahasa baku memiliki batasan tersendiri, antara
lain:
Ø Bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial
lebih digandrungi sering kali berdasarkan pada ujaran orang-orang yang
berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan/atau politik suatu
masyarakat ujaran. (Hartmann &
Stork, 1972:218)
Ø … tiada perbedaan hakiki antara suatu bahasa dengan
suatu dialek, yang pertama adalah satu dialek yang karena alasan tertentu
umpamanya sebagai bentuk ujaran di tempat kedudukan pemerintah, telah
memperoleh keistimewaan melebihi dialek-dialek lain di negeri tersebut. (Pei, 1965:47)
Ø Bahasa aku: dialek suatu bahasa yang memiliki
keistimewaan sastra dan cultural melebihi dialek-dialek lain sebagai bentuk
bahasa yang paling sempurna. (Pei &
Geynor, 1954:203)
Ø Bahasa baku adlah ragam ujaran dari satu masyarakat
bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas dasar
kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak dominan dalam masyarakat itu. Tindakan
pengesahan norma itu dilakukan lewat pertimbangan-pertimbangan nilai yang
bermotivasi sosiopolitik. (Dittmar,
1976:8)
Dari berbagai penjelasan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa bahasa baku adalah satu raga (variasi) bahasa juga yang
bernasib baik, dipakai oleh kelompok penutur tertentu (pengacara, politisi,
ilmuwan, dll.) yang biasanya bermukim di pusat-pusat kebudayaan, pendidikan,
politik, dan ekonomi.
Namun perlu diperhatikan, bahwa tak semua bahasa
mempunyai bahasa baku. Sebaliknya, bilamana ada bahasa baku tidak berarti
bahasa baku tersebut akan menyingkirkan ragam bahasa tidak baku dalam linguistic repertoire masyarakat
tertentu. Mungkin saja terdapat suatu ragam masyarakat ujaran (dialek)yang
berubah menjadi bahasa baku (standarisasi). Karena bahasa baku dapat
dimungkinkan mengalami destandardization,
yakni bila para penuturnya menganggap ragam tersebut sudah tidak cocok lagi untuk
dibakukan dan dipertahankan. Hal ini dapat kita lihat bahwa:
“pada hakekatnya, pembakuan
bahasa itu bukan kekayaan bahasa itu sendiri, tapi lebih merupakan suatu
penyikapan istimewa masyarakat penutur bahasa terhadapa bahasa yang pada
akhirnya bermuara pada pelambangan sosial (kebanggaan atau pemerlain sosial.)(Alwasilah, 1983:43)
Proses Pembakuan Bahasa
Pembakuan atau standardization adalah satu proses
yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi. Pembakuan juga merupakan
sebuah sikap (attitude) masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari segi
psikologi sosial kita mengetahui bahwa sikap masyarakat akan sesuatu berproses
tidak sebentar.
Tahapan dari standarisasi yaitu:
1.
Pemilihan
(Selection)
Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih
untuk kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut
bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang biasa digunakan dalam
perdagangan; dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa
saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi
masyarakat ujaran daerah tersebut.
2.
Kodifikasi
(Codification)
Merupakan suatu kegiatan dimana memberlakukan kode
atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi
meliputi kegiatan ortografi, pengucapan atau pelafalan, tata bahasa, dan
peristilahan. Kodifikasi dilakukan oleh sebuah badan atau lembaga khusus yang
telah ditunjuk oleh pemerintah. Badan atau lembaga tersebut selanjutnya
menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang
akan dimasyarakatkan. Dalam hal ini, di Indonesia, lembaga yang ditunjuk
tersebut yaitu Badan Bahasa yang berpusat di Jakarta.
3.
Penjabaran
Fungsi (Elaboration of Function)
Proses kodifikasi yang telah dilakukan sebelumnya,
kemudian akan dimasyarakatkan melalui proses penjabaran fungsi ragam bahasa
yang telah distandarkan. Peran pemerintah sangat luar biasa dalam kegiatan ini.
Pemakaian bahasa dalam parlemen, pengadilan, lembaga pendidikan, dan
sebagainya, sangat menunjang proses penjabaran fungsi.
4.
Persetujuan
(Acceptance)
Ini merupakan tahap akhir dari proses pembakuan
bahasa. Pada tahap ini, ragam bahasa yang telah distandarkan mesti mendapatkan
persetujuan oleh anggota masyarakat ujaran sebagai bahasa nasional mereka. Jika
telah sampai pada tahap ini, bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk
mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri
pembeda dari negara-negara lain.
No comments:
Post a Comment