Ada Indah. Seorang mahasiswi jurusan FKIP B.Indonesia di
salah satu universitas di Kepri, yang harus menyambi menjadi seorang tukang
ojek anak sekolah untuk bisa membiayai kuliahnya. Sama persis denganku, aku
juga mahasiswa dari program studi yang sama dengannya. Cuma yang beda, dia
bener-bener pengen jadi guru. Tapi kalo aku, masih setengah-setengah niatnya.
Indah rela bangun pagi-pagi buat ngantarin langganannya ke
sekolah plus siangnya ngejemput, baru habis itu kuliah. Kalo aku, semester awal
dulu sempat freelance di media massa
sekalian mengasah kemampuan menulisku. Namun sekarang, aku justru ingin
mengasah kemampuan berbicaraku, makanya nyari suasana baru jadi penyiar radio.
Alasannya sama, selain pengen bisa membantu orang tua, tapi juga aku pengen bisa
mencari uang bagi diriku sendiri. Aku ga ma uterus menerus bergantung dibawah
ketiak papa. Istilahnya gitu.
Tapi bukan hal mudah jika itu dilakukan. Dengan jumlah uang
yang sebenarnya tak seberapa didapatkan, tapi ada rasa kepuasan batin dalam
hati ini. Belum lagi aku bisa menambah teman sebagai link komunikasi. Karena, siapa tau dari mereka bisa dapat info soal
peluang pekerjaan. Itu memang terbukti!
Itu baru satu kisah yang tergambar di depan mata. Sebab, masih
ada ribuan cerita lain diluar sana yang satu sama lain tak jauh beda. Anak-anak
bangsa harus bekerja membanting tulang untuk bisa menggapai pendidikan mereka
sekaligus untuk membantu perekonomian keluarganya. Bahkan dari usia yang sangat
belia. Tapi itu bagi mereka yang kurang beruntung. Lalu, bagaimana dengan
anak-anak zaman sekarang yang sudah terbuai dengan kenikmatan hidup?
Aku masih ingat, seseorang sempat menyindir dengan apa yang
aku lakukan. Yah, mungkin seperti itu, atau hanya sekedar bertanya barangkali. “Untuk apa
bekerja seperti ini? Memangnya berapa banyak uang yang didapatkan?” Aku hanya bisa menjawab dengan bijak, “Tak usah
dihiraukan. Uangnya memang tak sebanyak uang jajanmu. Tapi pastinya kalo tidak
bekerja, mana bisa aku kuliah.” Jawaban yang tidak terlalu rumit, namun
aku pikir sangat mengena. Tapi jujur saja, pertanyaan itu sempat membuat aku down. Yah, sebenarnya itu seseorang yang
aku harapkan bisa memberikan semangat lebih, namun ternyata malah sebaliknya.
Tapi biarlah, itu cuma kisah lama. Tapi setidaknya, dari pertanyaan yang
‘sepele’ itu, aku justru lebih terpacu lagi untuk bisa mengumpulkan pundi-pundi
rupiah agar bisa terus meneruskan pendidikanku hingga tingkat tertinggi.
Melihat kondisi sekarang, aku cuma bisa geleng-geleng
kepala. Masalahnya, anak-anak masa kini sudah terlalu terbuai dan termanjakan
dengan segala fasilitas yang diberikan oleh orang tua mereka. Memang sih,
memanjakan anak itu hak dari orang tua masing-masing, tapi sayangnya,
sepertinya mereka lupa jika kehidupan dimasa depan justru akan lebih berat daripada
saat ini. Jika mereka terus diberikan kemudahan, kenyamanan, kemanjaan, dan
segala kenikmatan lainnya yang instan, bagaimana mereka bisa menghadapi masalah
dimasa depan? Sedang untuk membuat secangkir teh saja, mereka berteriak untuk
minta dibuatkan. Wow, miris sekali!
Ada banyak hal yang harus dimengerti, dipahami, dan
dipelajari oleh generasi bangsa masa kini. Tak mungkin ada hujan uang di dunia
ini. Mereka harus bisa berusaha dan berkreatifitas agar bisa menggapai mimpi
mereka. Jangan hanya bisamengandalkan apa yang orang tua mereka miliki. Semoga
saja mereka bisa memahami…
Ambisi, cita-cita
Kekuatan, kemampuan
Usaha
No comments:
Post a Comment