Wednesday, May 18, 2011

Pembakuan Bahasa (Standarisasi)

Saat kita berbicara mengenai standar dan non-standar sama halnya dengan kita membicarakan mengenai variety (ragam) dalam bahasa dan penyikapan para penutur bahasa raam bahasa tersebut dalam sebuah masyarakat ujaran (speech community) tertentu. Speech community tidak dibatasi oleh batas daerah, melainkan dengan kelompok-kelompok pendidikan, profesi, dan sosial. Secara garis besar, bahasa yang terdapat pada buku dan majalahlah yang diangkat menjadi bahasa baku.

Bahasa tidak baku ialah bentuk bahasa yang biasa memakai kata-kata atau ungkapan struktur kalimat, ejaan, dan pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh mereka yang berpendidikan atau seringkali dianggap tidak benar. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat seorang ahli, yatu Stewart (1968), “the codification and acceptance, within a community of users, of a formal set of norms defining ‘correct’ usage. (kodifikasi dan persetujuan dalam masyarakat pemakai akan seperangkat formal norma-norma yang membatasi pemakaian yang ‘benar’.) (Fishman,ed,1968:534).

Bahasa baku memiliki batasan tersendiri, antara lain:

Ø Bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi sering kali berdasarkan pada ujaran orang-orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan/atau politik suatu masyarakat ujaran. (Hartmann & Stork, 1972:218)

Ø … tiada perbedaan hakiki antara suatu bahasa dengan suatu dialek, yang pertama adalah satu dialek yang karena alasan tertentu umpamanya sebagai bentuk ujaran di tempat kedudukan pemerintah, telah memperoleh keistimewaan melebihi dialek-dialek lain di negeri tersebut. (Pei, 1965:47)

Ø Bahasa aku: dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan cultural melebihi dialek-dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna. (Pei & Geynor, 1954:203)

Ø Bahasa baku adlah ragam ujaran dari satu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas dasar kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak dominan dalam masyarakat itu. Tindakan pengesahan norma itu dilakukan lewat pertimbangan-pertimbangan nilai yang bermotivasi sosiopolitik. (Dittmar, 1976:8)

Dari berbagai penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bahasa baku adalah satu raga (variasi) bahasa juga yang bernasib baik, dipakai oleh kelompok penutur tertentu (pengacara, politisi, ilmuwan, dll.) yang biasanya bermukim di pusat-pusat kebudayaan, pendidikan, politik, dan ekonomi.

Naumn perlu diperhatikan, bahwa tak semua bahasa mempunyai bahasa baku. Sebaliknya, bilamana ada bahasa baku tidak berarti bahasa baku tersebut akan menyingkirkan ragam bahasa tidak baku dalam linguistic repertoire masyarakat tertentu. Mungkin saja terdapat suatu ragam masyarakat ujaran (dialek)yang berubah menjadi bahasa baku (standarisasi). Karena bahasa baku dapat dimungkinkan mengalami destandardization, yakni bila para penuturnya menganggap ragam tersebut sudah tidak cocok lagi untuk dibakukan dan dipertahankan. Hal ini dapat kita lihat bahwa:

“pada hakekatnya, pembakuan bahasa itu bukan kekayaan bahasa itu sendiri, tapi lebih merupakan suatu penyikapan istimewa masyarakat penutur bahasa terhadapa bahasa yang pada akhirnya bermuara pada pelambangan sosial (kebanggaan atau pemerlain sosial.)(Alwasilah, 1983:43)

Proses Pembakuan Bahasa

Pembakuan atau standardization adalah satu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi. Pembakuan juga merupakan sebuah sikap (attitude) masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari segi psikologi sosial kita mengetahui bahwa sikap masyarakat akan sesuatu berproses tidak sebentar.

Tahapan dari standarisasi yaitu:

1. Pemilihan (Selection)

Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih untuk kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang biasa digunakan dalam perdagangan; dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi masyarakat ujaran daerah tersebut.

2. Kodifikasi (Codification)

Merupakan suatu kegiatan dimana memberlakukan kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi meliputi kegiatan ortografi, pengucapan atau pelafalan, tata bahasa, dan peristilahan. Kodifikasi dilakukan oleh sebuah badan atau lembaga khusus yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Badan atau lembaga tersebut selanjutnya menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan. Dalam hal ini, di Indonesia, lembaga yang ditunjuk tersebut yaitu Badan Bahasa yang berpusat di Jakarta.

3. Penjabaran Fungsi (Elaboration of Function)

Proses kodifikasi yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian akan dimasyarakatkan melalui proses penjabaran fungsi ragam bahasa yang telah distandarkan. Peran pemerintah sangat luar biasa dalam kegiatan ini. Pemakaian bahasa dalam parlemen, pengadilan, lembaga pendidikan, dan sebagainya, sangat menunjang proses penjabaran fungsi.

4. Persetujuan (Acceptance)

Ini merupakan tahap akhir dari proses pembakuan bahasa. Pada tahap ini, ragam bahasa yang telah distandarkan mesti mendapatkan persetujuan oleh anggota masyarakat ujaran sebagai bahasa nasional mereka. Jika telah sampai pada tahap ini, bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain.

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...