Friday, December 16, 2016

Pilihan Terbaik Mereka


Hingga kini, dia masih belum bisa mengontrol pikiran dan hatinya. Dia masih terpojok dengan segala hal yang telah ditujukan padanya. Belum lagi, semua yang dinyatakan itu, benar adanya. Dia tak bisa mengelak. Segala hal yang belum terungkap, dibiarkannya saja tersimpan rapi. Dia pikir, tetap akan percuma dan tak akan mengubah keputusan yang ada.
*****
                Dia terduduk lemas di tangan kursi tamu. Berusaha duduk dengan tegap, namun sayang, tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama. Belum lagi, matanya masih menahan bulir bening yang siap jatuh kapan saja. Dia juga masih menggenggam sehelai kain penutup kepala yang tadi baru saja dilepas sesaat setelah sampai di rumah. Setelah beberapa saat tertunduk, dia memberanikan diri menatap seraut wajah dengan sedikit senyuman pada potret berbingkai hitam di dinding.
  
                “Ma, kenapa hal ini harus terjadi lagi? Mengapa kali ini, rasanya lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ma, seandainya saja, mama ada di sini...”
                Kali ini, dia tak berhasil membendung bulir bening dimatanya. Satu per satu, mereka berlomba meluncur dari wajah pucatnya yang semakin tirus. Beberapa bulir bahkan melesak masuk ke mulutnya. Dan dia, tak hirau lagi akan hal itu.
                “Ma, apakah anak gadismu ini, tak diizinkan untuk merengkuh kebahagiaan? Apakah rencana yang sudah aku susun itu, tak baik untuk kedepannya? Apakah aku tak bisa mendapatkan sekali lagi saja kesempatan untuk memperbaiki hal yang ada? Kenapa, Ma?”
                Sedu sedan tertahannya kini lebih lancar keluar. Beberapa kali, dia terisak dengan kencang. Untung saja, tak ada yang mendengarkan. Suasana rumah yang tengah sepi, justru menambah menyayat hatinya. Kain penutup kepala yang sedari digenggamnya, kini telah basah untuk mengelap ingus dan air matanya. Dadanya justru semakin terasa sesak. Tak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda kelegaan setelah sedari bercerita. Bulir air matanya pun bertambah deras. Seolah tak ingin kalah dengan isakkan yang sesekali membuat napasnya tersekat.
Kali ini, dia hanya bisa menundukkan kepala. Terkulai lemas bersandar pada bagian sandaran kursi. Tangannya kembali mengelap wajah yang tak juga mengering oleh air mata. Sebenarnya, masih banyak yang ingin dikeluarkan olehnya untuk membantu mengurangi rasa sesak didadanya. Namun, dia tak memiliki sisa kekuatan dari dalam dirinya. Belum lagi, beberapa hari terakhir, nafsu makannya sangat terganggu. Dia jengah melihat makanan yang terhidang di meja makan. Sekali pun itu adalah makanan favoritnya. Tak ada kerjasama antara mulut dan perut. Gendrang lapar yang bergema di dalam perut, menginginkan agar dia segera makan. Tapi mulut enggan untuk melumat makanan yang masuk. Jadi wajar saja, bila kondisinya semakin lemah dari ke hari. Belum lagi, matanya telah kuyu menyembunyikan kepedihan.
Dia mencoba bangkit kembali seperti semula. Memulai komunikasi kosong dengan seraut wajah yang tergambar di dalam pigura. Kembali mengeluarkan unek-uneknya.
“Ma, kenapa ada orang-orang yang seperti itu? Mengapa sampai ada orang yang rela mengorbankan kebahagiaan orang lain? Aku tahu, maksudnya pasti baik. Tapi mengapa mereka tak mencoba mengkomunikasikannya dari hati ke hati? Mendengarkan dari segala sisi, bukan justru dengan egois memaksakan kehendak sendiri? Mengapa, Ma, mengapa?”
“Apakah bila dirimu masih nyata di depanku, Mama akan melakukan hal yang sama? Mendikte anakmu ini untuk sebuah alasan klise?” Dia masih terus mengoceh. Selanjutnya, kembali mengelap wajah yang kembali basah. Tubuhnya pun telah kuyup oleh keringat. Badannya terasa panas-dingin karena masih menahan emosi yang ada. Akhirnya, dia hanya bisa terdiam sambil memijat kening. Menenangkan diri sejenak. Mengatur tarikan napas agar ritme jantungnya dapat berdetak dengan normal.
Dia bangkit dan berjalan ke dapur lalu menuju tempat cucian guna meletakkan kain penutup kepala yang lembab karena air mata. Kemudian kembali lagi ke ruang tamu dan duduk di kursi panjang berlapis busa tebal berwarna merah bercorak bunga-bunga. Diangkatnya kedua kakinya dan disanggahnya ke atas meja tamu. Disenderkannya kepala ke senderan kursi. Dia kembali mengambil napas panjang. Memusatkan pikiran agar bisa lebih tenang. Dipejamkannya mata. Terlintas bayangan wajah seseorang yang telah membuat hatinya kacau balau belakangan ini. Seraut wajah yang sangat dirindukannya untuk menemani hari-harinya ke depan. Sesosok wajah yang selalu membuatnya damai kala tersenyum. Pribadi yang mampu membuatnya patuh. Tanpa sadar, kedua tangannya menyilang di badan seolah memeluk bayangan di alam pikirannya. Air mata kembali berlinang. Dia masih belum bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Padahal, aku telah memutuskan untuk mengakhiri pekerjaanku di semester baru tahun depan bila memang itu yang kau mau. Menemanimu membangun usaha yang kini tengah kau jalani. Bersamamu tanpa harus terpisah jarak karena pekerjaan kita masing-masing. Semua demi kita...” Dia kembali mengoceh sendiri.
Kali ini, dia tak mampu mengontrol diri lagi. Di tendangnya meja tamu hingga bergeser beberapa senti. Kedua tangannya yang menggenggam erat, dihentak-hentakkan tanpa arah ke sandaran dan dudukan kursi. Dia baru berhenti saat tulang kering kaki sebelah kanannya menghantam kaki meja. Sakit. Tapi hatinya tetap lebih sakit. Bila sudah begini, penyakit lamanya kumat. Terapi kontrol emosi -yang pernah diupayakan olehnya beberapa tahun silam- untuk tidak menyakiti diri sendiri saat amarah tak terkontrol, menjadi sia-sia. Dia menunduk untuk mengecek tungkai kaki kanan. Di sentuhnya perlahan. Hanya bisa meringis. Benturan itu berdenyut dan menimbulkan rasa nyeri.
Kali ini, dia merubah posisi. Bersedekap dengan melipat kedua kaki, lalu menumpukan dagu pada lutut.
“Selama ini aku diam sejenak untuk mengalahkan egoku. Sengaja tak mengabarimu agar kau tak terbebani dengan kondisiku. Apalagi, masalahmu sendiri sudah terlalu banyak. Aku tak tega memberatkanmu. Aku takut nanti kesehatanmu terganggu. Belum lagi pekerjaanmu. Ini salahku. Ya, ini salahku,” bisiknya samar.
“Aku sadar bila aku berubah. Aku terlalu mudah goyah dengan ucapan mereka. Aku tak sanggup dengan tekanan mereka di kanan-kiri. Dan aku... tak mau semua hal itu makin menyusahkanmu. Aku tak mau...” isaknya.
“Ya... Akan aku coba ikhlaskan ini semua. Akan aku lupakan rencana indah yang telah kita rancang berdua. Aku tau, kau adalah anak yang baik. Silahkan tunaikan janjimu pada kedua orang tuamu. Aku tak ingin menjadi penghalang di antara kalian. Aku tak ingin kau memupuk dosa karena menentang mereka hanya karena aku. Aku bisa jadi sumber kedurhakaanmu. Kau berhak mendapatkan yang terbaik pilihan mereka. Mungkin, masih ada yang berat hati merestui bila kau bersanding denganku. Maafkan aku.”
Dia membenamkan wajahnya sejenak. Dia tersentak saat terdengar bunyi rolling door garasi terbuka. Buru-buru diambilnya handuk dan berlari ke kamar mandi. Mulai diguyurkannya air dari kepala hingga ujung kaki. Berharap jiwa dan raganya segar kembali guna dapat berpikir normal seperti sedia kala. Menghanyutkan sesaat masalah yang cukup berat membebaninya.***


                                                                                Jambi, 15 Desember 2016




No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...