Hingga kini, dia masih belum bisa
mengontrol pikiran dan hatinya. Dia masih terpojok dengan segala hal yang telah
ditujukan padanya. Belum lagi, semua yang dinyatakan itu, benar adanya. Dia tak
bisa mengelak. Segala hal yang belum terungkap, dibiarkannya saja tersimpan
rapi. Dia pikir, tetap akan percuma dan tak akan mengubah keputusan yang ada.
*****
Dia
terduduk lemas di tangan kursi tamu. Berusaha duduk dengan tegap, namun sayang,
tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama. Belum lagi, matanya masih menahan bulir
bening yang siap jatuh kapan saja. Dia juga masih menggenggam sehelai kain
penutup kepala yang tadi baru saja dilepas sesaat setelah sampai di rumah.
Setelah beberapa saat tertunduk, dia memberanikan diri menatap seraut wajah
dengan sedikit senyuman pada potret berbingkai hitam di dinding.
“Ma,
kenapa hal ini harus terjadi lagi? Mengapa kali ini, rasanya lebih menyakitkan
dari sebelumnya. Ma, seandainya saja, mama ada di sini...”
Kali
ini, dia tak berhasil membendung bulir bening dimatanya. Satu per satu, mereka
berlomba meluncur dari wajah pucatnya yang semakin tirus. Beberapa bulir bahkan
melesak masuk ke mulutnya. Dan dia, tak hirau lagi akan hal itu.
“Ma,
apakah anak gadismu ini, tak diizinkan untuk merengkuh kebahagiaan? Apakah
rencana yang sudah aku susun itu, tak baik untuk kedepannya? Apakah aku tak
bisa mendapatkan sekali lagi saja kesempatan untuk memperbaiki hal yang ada?
Kenapa, Ma?”
Sedu
sedan tertahannya kini lebih lancar keluar. Beberapa kali, dia terisak dengan
kencang. Untung saja, tak ada yang mendengarkan. Suasana rumah yang tengah sepi,
justru menambah menyayat hatinya. Kain penutup kepala yang sedari digenggamnya,
kini telah basah untuk mengelap ingus dan air matanya. Dadanya justru semakin
terasa sesak. Tak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda kelegaan setelah
sedari bercerita. Bulir air matanya pun bertambah deras. Seolah tak ingin kalah
dengan isakkan yang sesekali membuat napasnya tersekat.
Kali ini, dia hanya bisa
menundukkan kepala. Terkulai lemas bersandar pada bagian sandaran kursi. Tangannya
kembali mengelap wajah yang tak juga mengering oleh air mata. Sebenarnya, masih
banyak yang ingin dikeluarkan olehnya untuk membantu mengurangi rasa sesak
didadanya. Namun, dia tak memiliki sisa kekuatan dari dalam dirinya. Belum
lagi, beberapa hari terakhir, nafsu makannya sangat terganggu. Dia jengah
melihat makanan yang terhidang di meja makan. Sekali pun itu adalah makanan
favoritnya. Tak ada kerjasama antara mulut dan perut. Gendrang lapar yang
bergema di dalam perut, menginginkan agar dia segera makan. Tapi mulut enggan
untuk melumat makanan yang masuk. Jadi wajar saja, bila kondisinya semakin
lemah dari ke hari. Belum lagi, matanya telah kuyu menyembunyikan kepedihan.
Dia mencoba bangkit kembali
seperti semula. Memulai komunikasi kosong dengan seraut wajah yang tergambar di
dalam pigura. Kembali mengeluarkan unek-uneknya.
“Ma, kenapa ada orang-orang yang
seperti itu? Mengapa sampai ada orang yang rela mengorbankan kebahagiaan orang
lain? Aku tahu, maksudnya pasti baik. Tapi mengapa mereka tak mencoba
mengkomunikasikannya dari hati ke hati? Mendengarkan dari segala sisi, bukan justru
dengan egois memaksakan kehendak sendiri? Mengapa, Ma, mengapa?”
“Apakah bila dirimu masih nyata di
depanku, Mama akan melakukan hal yang sama? Mendikte anakmu ini untuk sebuah
alasan klise?” Dia masih terus mengoceh. Selanjutnya, kembali mengelap wajah
yang kembali basah. Tubuhnya pun telah kuyup oleh keringat. Badannya terasa
panas-dingin karena masih menahan emosi yang ada. Akhirnya, dia hanya bisa
terdiam sambil memijat kening. Menenangkan diri sejenak. Mengatur tarikan napas
agar ritme jantungnya dapat berdetak dengan normal.
Dia bangkit dan berjalan ke dapur
lalu menuju tempat cucian guna meletakkan kain penutup kepala yang lembab
karena air mata. Kemudian kembali lagi ke ruang tamu dan duduk di kursi panjang
berlapis busa tebal berwarna merah bercorak bunga-bunga. Diangkatnya kedua
kakinya dan disanggahnya ke atas meja tamu. Disenderkannya kepala ke senderan
kursi. Dia kembali mengambil napas panjang. Memusatkan pikiran agar bisa lebih
tenang. Dipejamkannya mata. Terlintas bayangan wajah seseorang yang telah
membuat hatinya kacau balau belakangan ini. Seraut wajah yang sangat
dirindukannya untuk menemani hari-harinya ke depan. Sesosok wajah yang selalu
membuatnya damai kala tersenyum. Pribadi yang mampu membuatnya patuh. Tanpa
sadar, kedua tangannya menyilang di badan seolah memeluk bayangan di alam
pikirannya. Air mata kembali berlinang. Dia masih belum bisa menyembunyikan
kesedihannya.
“Padahal, aku telah memutuskan
untuk mengakhiri pekerjaanku di semester baru tahun depan bila memang itu yang
kau mau. Menemanimu membangun usaha yang kini tengah kau jalani. Bersamamu
tanpa harus terpisah jarak karena pekerjaan kita masing-masing. Semua demi
kita...” Dia kembali mengoceh sendiri.
Kali ini, dia tak mampu mengontrol
diri lagi. Di tendangnya meja tamu hingga bergeser beberapa senti. Kedua
tangannya yang menggenggam erat, dihentak-hentakkan tanpa arah ke sandaran dan
dudukan kursi. Dia baru berhenti saat tulang kering kaki sebelah kanannya
menghantam kaki meja. Sakit. Tapi hatinya tetap lebih sakit. Bila sudah begini,
penyakit lamanya kumat. Terapi kontrol emosi -yang pernah diupayakan olehnya
beberapa tahun silam- untuk tidak menyakiti diri sendiri saat amarah tak
terkontrol, menjadi sia-sia. Dia menunduk untuk mengecek tungkai kaki kanan. Di
sentuhnya perlahan. Hanya bisa meringis. Benturan itu berdenyut dan menimbulkan
rasa nyeri.
Kali ini, dia merubah posisi.
Bersedekap dengan melipat kedua kaki, lalu menumpukan dagu pada lutut.
“Selama ini aku diam sejenak untuk
mengalahkan egoku. Sengaja tak mengabarimu agar kau tak terbebani dengan
kondisiku. Apalagi, masalahmu sendiri sudah terlalu banyak. Aku tak tega
memberatkanmu. Aku takut nanti kesehatanmu terganggu. Belum lagi pekerjaanmu.
Ini salahku. Ya, ini salahku,” bisiknya samar.
“Aku sadar bila aku berubah. Aku
terlalu mudah goyah dengan ucapan mereka. Aku tak sanggup dengan tekanan mereka
di kanan-kiri. Dan aku... tak mau semua hal itu makin menyusahkanmu. Aku tak
mau...” isaknya.
“Ya... Akan aku coba ikhlaskan ini
semua. Akan aku lupakan rencana indah yang telah kita rancang berdua. Aku tau,
kau adalah anak yang baik. Silahkan tunaikan janjimu pada kedua orang tuamu.
Aku tak ingin menjadi penghalang di antara kalian. Aku tak ingin kau memupuk
dosa karena menentang mereka hanya karena aku. Aku bisa jadi sumber
kedurhakaanmu. Kau berhak mendapatkan yang terbaik pilihan mereka. Mungkin,
masih ada yang berat hati merestui bila kau bersanding denganku. Maafkan aku.”
Dia membenamkan wajahnya sejenak.
Dia tersentak saat terdengar bunyi rolling
door garasi terbuka. Buru-buru diambilnya handuk dan berlari ke kamar
mandi. Mulai diguyurkannya air dari kepala hingga ujung kaki. Berharap jiwa dan
raganya segar kembali guna dapat berpikir normal seperti sedia kala.
Menghanyutkan sesaat masalah yang cukup berat membebaninya.***
Jambi, 15 Desember 2016
No comments:
Post a Comment