Saturday, April 16, 2011

Aliran Penelitian Sastra

Ciri Aliran Penelitian Klasik

Aliran penelitian sastra adalah sebuah kecendrungan yang tampil pada suatu zaman. Setiap era kadang-kadang memiliki tendensi yang berbeda-beda, sehingga melahirkan aliran tertentu pula. Berbagai aliran sastra memang cukup banyak jumlahnya. Setiap aliran sastra, disadari atau tidak juga telah mewarnai lahirnya berbagai model atau pendekatan penelitian sastra. Oleh karena itu, setiap peneliti kadang-kadang terbawa arus dan secara sadar mengikuti aliran tersebut.

Pendekatan klasik penelitian sastra, pada awalnya berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Penelitian sastra yang selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankanbahwa karya sastra harus memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Penelitian klasik yang sering dinamakan dengan penelitian tradisional, memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

a. Hasil penelitian sastra harus sejalan dengan tujuan yang disampaikan penulisnya. Dalam kaitan ini, penulis diasumsikan orang yang bijak dan selalu berpikiran jernih.

b. Penelitian sastra menggunakan pendekatan klasik biasanya menekankan pada ajaran moral karya sastra. Oleh karen itu, diharapkan karya sastra dapat mendidik pembacadan memperbaharui akhlak manusia.

Dalam pandangan peneliti yang menerapkan pendekatan klasik, karya sastra bersifat statis. Karya sastra bersifat artefak yang sulit berubah.

Sedangkan untuk kelemahan penelitian sastra klasik yakni sering terjadinya bias makna. Peneliti telah membawa bekal asumsi bahwa karya-karya yang telah diteliti bernilai tinggi, tentu hasilnya pun akan ke arah itu. akibatnya, ada karya-karya yang dianggap “kacangan” atau bernilai rendah. Peneliti seakan-akan “mendewakan” karya pujangga, termasuk karya-karya ajaran yang anonim sebagai objek penelitian.

B. Penelitian Beraliran Ekspresivisme

1. Munculnya Ekspresivisme

Penelitian ekspresivisme sastra adalah model penelitian yang jarang dilakukan oleh peneliti sastra. Penelitian yang berupa kajian semi-psikologis ini, mungkin kurang menarik dan atau dipandang kurang menguntungkan bagi peneliti. Peneliti sering merasa kesulitan jika harus berhubungan langsung dengan pengarangnya. Mungkin karena pengarangnya telah tiada atau jauh dari pembaca.

Penelitian eskpresivisme lebih memandang karya sastra sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, citarasa, pikiran, kehendak, dan pengalaman batin pengarang.

Penelitian eskpresivisme lebih mendasarkan pada aspek latar belakang kepengarangan, kepribadian, dan hal ihwal yang melingkupi kehidupan pengarang. Berbagai hal ini akan diungkap oleh peneliti untuk melengkapi pemahaman tentang teks sastra. Penelitian semacam ini merupakan studi sistematis tentang psikologis pengarang dan proses kreatifnya.

Penelitian sastra ekspresivisme akan lebih menguntungkan manakala si pengarang masih hidup dan mudah dihubungi atau diajak berkomunikasi. Jika sang pengarang telah meninggal dunia, peneliti juga dapat menanyakannya pada saudara atau kerabat terdekat. Dengan kata lain, model life history atau studi biografi lengkap akan membantu peneliti eskpresivisme.

Ekspresivisme pertama kali dipelopori oleh Longinus. Ia menyatakan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra yang bermutu adalah keluhuran (yang luhur, agung, unggul, mulia) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan dan pengubahan yang mulia.

C. Penelitian Beraliran Romantisme

Penelitian sastra aliran romantisme selalu berprinsip bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan realistik. Karya sastra adalah kisah kehidupan manusia yang penuh liku-liku. Pengungkapan ralitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang indah, sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus penting dalam kajian romantisme.

Penelitian romantisme biasanya terfokus pada karya-karya yang melukiskan kehidupan seksual secara detail. Lukisan kehidupan seks yang penuh birahi ini, justru menarik perhatian peneliti. Oleh karena peneliti telah mengasumsikan bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin.

Penelitian romantisme biasanya berkiblat pada kerinduan hal-hal yang bersifat klasik dan tradisional. Para peneliti umumnya mengagungkan nilai-nilai lama yang luhur. Peneliti romantik juga sering tertarik pada subyek penelitian berupa legenda-legenda, mitos, dan dongeng supranatural. Asalkan karya-karya tersebut berkonteks “the far away, the long ago”, peneliti menjadi sanagt tertarik. Karya demikian dipandang memiliki otentisitas yang luar biasa.

Poin penting dalam penelitian romantik adalah tentang (1) kesungguhan hati (sincerity), (2) keaslian (genuineness), (3) keakuratan (adequacy) dalam mengungkapkan visi dan pemikiran individual si pencipta. Tolok ukur kualitas karya sastra adalah masalah: orisinalitas, kreativitas, kejeniusan, dan individualitas.

D. Penelitian Beraliran Simbolisme dan Mistisisme

Aliran simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan simbol tertentu. Simbol-simbol itu diabstraksikan agar pembaca semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan adalah benda-benda atau makhluk di luar manusia.

Melalui aliran simbolik, banyak muncul dongeng-dongeng, legenda, dan mite. Cerita semacam ini merupakan gambaran hidup manusia, meskipun tokoh-tokohnya sebagian besar adalah binatang.

Aliran simbolik biasanya dianut oleh pengarang yang telah mapan dan menegndap daya imajinasinya. Melalui simbol-simbol tersebut, pengarang lebih bebas mengekspresikan isi hatinya.

Diantara langkah yang seharusnya ditempuh oleh peneliti sastra simbolik, yakni: (1) memilih karya-karya yang memuat simbol, (2) membaca cermat karya simbolik tersebut, kemudian memasukkan data-data yang memuat simbol, (3) simbol tersebut dikategorikan sehingga satu dengan yang lain mudah dimengerti, (4) penafsiran makna simbol yang adal dalam karya sastra tersebut. Makna sebaiknya selalu dikembalikan ke dalam konteks struktur dan konteks zaman. Dan (5) temukan implikasi dan relevansi simbol tersebut dengan era yang sedang berjalan.

Sedangkan karya yang berbau mistik, hanya bisa dipahami ketika peneliti memahami konsep mistik tersebut secara fasih. Tanpa pemahaman mistik itu, peneliti akan terhambat dalam menafsirkan teks. Karenanya, pada ssaat peneliti melakukan penafsiran sastra simbolik, surrealis, dan mistik perlu bekal konsep kehidupan yang jelas.

(Sumber: Buku Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi Karya Suwardi Endraswara)

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...