Saturday, December 26, 2009

RESEP BELAJAR PUISI

MENGHADIRKAN PUISI DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA



Pengantar
Kegiatan apresiasi dapat bersifat reseptif dan produktif. Kegiatan reseptif dan produktif itu dimaksudkan untuk mempertajam perasaan, penalaran, daya imajinasi, kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup pembelajar. Secara komprehensif kegiatan apresiasi dapat memberikan kontribusi positif dalam pendidikan moral, sikap, watak, budi pekerti, pengetahuan budaya, dan keterampilan berbahasa. Dalam konteks ini dapat dinyatakan bahwa kegiatan apresiasi, yang bersifat reseptif dan produktif itu, implementasinya tidak sekadar menikmati dan memahami karya sastra, melainkan juga kesempatan menggali dan mengenali berbagai macam nilai. Pembelajar tidak cukup dibekali pengetahuan dan sejarah sastra, melainkan juga pengalaman kreatif mencipta dan menghadirkan (menampilkan) karya sastra dalam setiap pembelajaran sastra.


Ada empat kecenderungan yang secara umum memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi pembelajaran apresiasi puisi. Pertama, pengajaran apresiasi puisi dewasa ini cenderung mengarah pada sejarah dan teori puisi. Kedua, dalam pembelajaran apresiasi puisi pembelajar kurang diberikan ruang yang cukup untuk meresepsi dan mereaksi puisi. Ketiga, terkesan ada jarak antara pembelajaran puisi dan perkembangan puisi. Keempat, dalam pembelajaran apresiasi puisi pembelajar kurang diberi kesempatan untuk berlatih mencipta puisi. Empat kecenderungan ini perlu diantisipasi oleh pengajar dengan mencari upaya untuk merekayasa strategi pembelajaran yang kondusif, apresiatif, kreatif, dan produktif. Situasi dan kondisi yang kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan pembelajar dapat bersifat reseptif, reaktif, dan atraktif selama proses pembelajaran. Selain itu, pengajar perlu menciptakan strategi pembelajaran yang apresatif, yakni strategi yang tidak bersifat indoktrinatif, melainkan strategi pembelaran yang memungkinkan pembelajar kreatif dan produktif.

Makalah sederhana ini dimaksudkan untuk memperkenalkan strategi “Re-Kreasi” dalam pembelajaran menulis kreatif puisi. Strategi ini telah di-implementasikan pada perkuliahan di program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia & Daerah FKIP Universitas Jambi dan telah menghasilkan sejumlah penulis kreatif. Makalah ini diangkat berdasarkan pengalaman penulis mengimplementasikan strategi “Re-Kreasi” dalam penulisan kreatif puisi, yang menurut hemat penulis, perlu diperkenalkan pada forum BKS PTN Wilayah Barat sebagai salah satu wacana yang dapat didiskusikan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah sederhana ini adalah (1) bagaimanakah implementasi strategi “Re-Kreasi” dalam pembelajaran kreatif menulis puisi?;dan (2) hal-hal apakah yang patut diperhatikan dalam pengimplentasian strategi “Re-Kreasi”?

B. Implementasi Strategi “Re-Kreasi”
Istilah “Re-kreasi” dapat diartikan sebagai upaya ‘penciptaan kembali’. Strategi “Re-Kreasi” dalam implementasinya berupaya menerapkan kegiatan ‘penciptaan kembali’. Dalam implementasinya, pengajar memberikan cukup ruang bagi pembelajar untuk menulis puisi berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalam puisi lain yang pernah dibacanya. Istilah “re-kreasi” ini semula penulis temukan dalam hubungan strategi strata yang dikenalkan oleh Hilda Taba, yakni (1) tahap penjelaahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi.
Strategi “Re-kreasi” dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis kreatif puisi, misalnya: (1) penciptaan kembali sebuah puisi berdasarkan tema puisi lain yang pernah dibaca, (2) penciptaan kembali puisi berdasarkan nada puisi lain yang pernah dibaca, (3) penciptaan kembali sebuah puisi berdasarkan suasana puisi lain, dan (4) penciptaan kembali puisi berdasarkan latar puisi lain.

1. Implementasi Strategi “Re-kreasi” Berdasarkan Tema Puisi Lain
Dalam implementasi strategi “Re-kreasi” sebaiknya selalu dihubungkan dengan kemungkinan mengemabangkan keterampilan berbahasa pembelajar, yakni kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu, pengimplementasian strategi “Re-kreasi” ada baiknya diarahkan untuk mengembangkan cipta, rasa, karsa, dan menunjang pembentukan watak pembelajar. Berikut ini disajikan sebuah puisi “Tanah Kelahiran” karya Ramadhan KH sebagai pangkal tolak dalam pembelajaran penulisan kreatif puisi berdasarkan persamaan tema.

TANAH KELAHIRAN

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohonan pina
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang—Tangkubanperahu

Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun

Membelit tanngga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
Kenakan kebaya merah kepewayangan

Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menuru.
(Ramadhan KH)

Puisi Ramadhan bertemakan tentang keindahan alam Priangan, Jawa Barat. Tema keindahan alam dalam puisi Ramadhan berupa pengungkapan pengalaman indria penyair yang dituangkan dengan cara pelukisan. Pada lukisan tersebut perasaan penyair tampil bersama tanggapan yang tersirat. Berpangkal tolak dari tema yang sama, pengajar dapat mengarahkan para pembelajar untuk mengiplementasikan strategi “Re-kreasi”. Dalam pengimplementiannya, pembelajar tidak melakukan rekonstruksi pemandangan alam Priangan, melainkan diarahkan pada upaya mengapresiasi dan menyerap keindahan di tempat asal pembelajar. Misalnya, pembelajar berasal dari kota Malang, mungkin akan dihasilkan puisi yang bersangkutan dengan keindahan tempat rekreasi, seperti berikut.

SELECTA, SATU KETIKA

padang ilalang membentang
selalu bergoyang pagi hingga petang
lambaiannya mengundang senyum pendatang
kebun agrowisata dan tanah-tanah pertanian
semua menjanjikan dan menyajikan lanskap kenikmatan

segalanya tembus pandang, sayang:
plaza, toserba, mengundang kencan berdua
gunung-gunung berselibut kabut
hingga laut tempat cinta terpaut bergelora di dada

segalanya nganga terbuka, sayang:
etalase cinta
daun jendela
pigura berdinding kaca

segalanya terdedah, sayang:
lembah senyum merekah
ngarai menyemai damai
blewah, mangga, semangka
penyegar jiwa-raga semua tersedia

Terlepas dari kualitas, puisi yang diciotakan oleh pembelajar berjudul “Selecta” secara langsung dapat dihubungkan dengan keterampilan berbahasa. Menghasilkan puisi, merupakan hasil pengembangan keterampilan menulis. Dalam implementasi pembelajaran, puisi karya pembelajar sebaiknya dibacakan secara estetis (mengembangkan keterampilan membaca estetis), disimak oleh pembelajar lain (mengembangkan keterampilan menyimak), dibicarakan di dalam kelas (mengembanngkan keterampilan berbicara).

Penuangan gagasan tentang keindahan alam ke dalam wujud puisi, secara langsung atau tidak langsung, dapat mengembangkan daya cipta, rasa, dan karsa bahkan dapat membentuk watak, yakni cinta pada tempat tinggalnya, tempat kelahirannya, atau kekayaan panorama yang dibanggakannya. Selanjutnya, pengajar dapat menindaklajuti dengan pemberian tugas mencipta puisi berdasarkan tema-tema yang sama. Dalam konteks ini pembelajar dapat ditugasi menulis puisi berdasarkan tempat-tempat yang dapat menggugah rasa estetis. Puisi-puisi karya pembelajar ini sebaiknya dibacakan, dibicarakan, dipajang pada majalah dinding atau majalah, atau diantologikan.

Kegiatan-kegiatan itu dapat menumbuhkan motivasi dan nilai-nilai positif. Kegiatan seperti ini sejalan dengan tujuan pembelajaran dan dapat menciptakan situasi pembelajaran yang apresiatif, aspiratif, kondusif, dan edukatif. Berpangkal tolak dari tema puisi lain, selanjutnya pengajar dapat memperluas ranah tema: cinta tanah air, petualangan, kepahlawanan, patriotisme, dan lain-lain. Hal yang selayaknya menjadi catatan pengajar ialah: implementasi strategi “Re-Kreasi” berdasarkan persamaan tema atau pengembangan tema menuntut pengajar berpandangan luas, adil, dan bersikap “ngemong” dan dapat membimbing, memandu, mengajak, serta mengarahkan pembelajar mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Selain itu, sebaiknya pengajar memiliki pengalaman menulis puisi dan memiliki dasar-dasar apresiasi puisi yang memadai.

2. Implementasi Strategi “Re-kreasi” berdasarkan Nada Puisi
Nada puisi ialah cara penyair mengungkapkan pikiran dan perasaannya (Sumardjo, 1986). Menurut Sudjiman (1984) nada ialah gaya atau cara menulis atau berbicara yang khas. Kadang-kadang nada tulisan mengungkapkan keadaan jiwa atau suasana hati penulisnya. Setiap puisi yang ditulis oleh penyair tentu memiliki nada yang khas, sesuai dengan keadaan penyair bersangkutan. Nada Ramadhan KH dalam puisi “Tanah Kelahiran” adalah perasaan kagum atas keindahan tanah kelahirannya, yaitu Priangan. Perasaan kagum itu dingkpkannya dengan pelikisan detail-detail keindahan tanah kelahirannya. Pengungkapan detail-detail keindahan alam dilakukan oleh penyair seperti kerja seorang kameramen yang meyorot detail-detail keindahan alam tanah Pasundan.
Berpangkal tolak dari sikap mengangumi tanah kelahiran tersebut, pengajar menugasi pembelajar untuk ‘mengabadian’ berbagai perasaan ke dalam puisi. Pengajar memberikan ruang dan kesempatan yang luas bagi pembelajar untuk mengeksplorasi berbagai sikap berdasarkan implmentasi strategi “Re-kreasi”. Dari implementasi strategi demikian, mungkin, diciptakan puisi seperti ini.

JOGJA, KOTA KATAKU

kukira ini bukan mimpi, tapi tragedi
gempa bumi mengguncang sendisendi nurani
dan merapi tiada henti menggetarkan dada kota ini

jogja, kota kataku rata:
tiada tari, nyanyi, juga puisi
jogja, kota mimpiku di atas bara:
gedung agung sepertinya dihuni mbilung
petinggi dan birokrasi
bingung membagi sebungkus nasi

jogja, oh, jogja
kukatakan kakakakaku:
aroma teh
dan wangi kopi
tak sempat dinikmati pagi itu

luka itu ah ah ah
nyeri itu ih ih ih
luka dan nyeri itu alangkah perih!


Puisi “Jogja, Kota Kataku” mengungkapkan sikap penulisnya. Nada puisi itu barangkali dapat menggugah hati, merangsang empati, menimbulkan simpati karena sikap penyairnya jelas: ada gambaran sedih, perih, prihatin, dan sikap kritis. Nada puisi memungkinkan pembelajar yang menulis puisi melakukan eksplorasi seluas-luanya dalam bersikap.

Ekslporasi nada atau sikap penyair terhadap gempa yang meluluhlantakkan kota Jogja dan sekitarnya seperti tertuang dalam puisi tersebut pada gilirannya dapat menggambarkan sikap pembelajar. Dengan strategi “Re-kreasi” berdasarkan nada puisi lain, pembelajar dapat secara leluasa bersikap. Sikap-sikap yang diekspresikan oleh pembelajar merupakan manifestasi berbagai sikap pembelajar dalam menghadapi berbagai peristiwa nyata. Implementasi strategi “Re-kreasi” berdasarkan nada puisi lain dapat mendukung peningkatan empat keterampilan berbahasa dan mendukung pengembangan daya cipta, kreativitas, dan dapat memperkokoh pembentukan watak yang secara kultural, ideologis, dan pragmatis amat berguna bagi pembentukan pribadi paripurna.

3. Implementasi Strategi “Re-kreasi” Berdasarkan Suasana Puisi
Suasana dalam konteks ini mengandung pengertian ‘perasaan penyair’ pada saat menulis puisi. Puisi “Tanah Kelahiran” menyiratkan bagaimana suasana perasaan Ramadhan KH, yakni perasaan terpesona terhadap kejelitaan tanah kelahirannya. Berdasarkan suasana yang sama (atau berbeda) pengajar dapat merancang implementasi strategi “Re-kreasi”. Pengajar, misalnya, dapat merancang pembelajaran menulis kreatif puisi berdasarkan rasa kagum kepada pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat, pahlawan, dan lain-lainnya.

Dalam kegiatan belajar-mengajar, pengajar dapat mengarahkan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ditargetkan. Pengajar, misalnya, dapat menugasi siswa menulis puisi dengan ‘angle’ seperti Chairil Anwar mengangumi sosok Diponegoro. Kalau ada pembelajar menulis puisi bedasarkan rasa kagumnya pada sosok B.J. Habie dalam pengembangan teknologi, mungkin dihasilkan puisi seperti berikut ini.

HABIBIE, YA, HABIBIE
Bola matamu, ya Habibie, seluas matahari
memandang teknologi, mendulang besi-besi
seperti Gatotkaca: otot kawat balung wesi
mengepakkan sayap-sayap di langit tinggi

Aku belajar ilmu pasti, ya Habibie
bukan untuk mengumbar janji
Aku ingin jadi garuda mengarungi cakrawala
menembus segala rahasia semesta

Puisi “Habibie, ya, Habibie” memaparkan berbagai suasana hati penulisnya. Menghadapi puisi yang ditulis oleh pembelajar, seorang pengajar hendaknya dapat memberikan penghargaan atau penilaian objektif dan jujur sehingga pembelajar benar-benar termotivasi untuk memiliki sikap dan kemandirisn melalui proses pembelajaran.

4. Implementasi Strategi “Re-kreasi” Berdasarkan Latar Puisi
Latar berhubungan dengan segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1984). Latar dalam puisi berupa keadaan sosial, sejarah, dan sebagainya yang menjelaskan terjadinya lakuan. Latar “Tanah Kelahiran” dapat dijadikan pangkal tolak dalam menulis puisi baru. Sebagai variasi, pengajar dapat mengarahkan pembelajar untuk melaksanakan “Re-Kreasi” (penciptaan kembali) berlatar kota-kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Ambon, Bali, dan seterusnya. Selain itu, pembelajar dapat diarahkan menulis puisi berdasarkan latar sosial, sejarah, agama, dan lain-lain latar. Contoh puisi yang berlatar daerah Jambi dapat dihadirkan di sini.

ELEGI BATANGHARI
setelah berkalikali merpati ingkar janji
kembali kukaji notasi “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”
anakanak negeri ini gemar benar mengurung diri
melukis mimpimimpi
berlari melintas Aur Duri

aku berdiri merentang panjang jembatan ini
riak dan ombak berontak seperti kaligrafi
memusar dan melingkari adat trdisi
derap sepatu politisi dan jaring birokrasi

aku berlari seperti Acep Syahril yang nggigil
mindah nasib sendiri (Ketika Indonesia Berlari)
aku berlari seperti Ary Setya Ardhi meratapi dinasti Abunjani
aku berlari membawabawa nyeri
dan Batanghari masih enggan berbagi

C. Tindak Lanjut
Puisi sebagai karya kemanusiaan yang kreatif, imajinatif, dan sugestif dapat berfungsi memberikan pengarug positif terhadap cara berpikir orang mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah, dan mengenai cara hidupnya sendiri serta bangsanya. Intinya, bahwa puisi dalam kehidupan manusia jauh dari hal-hal yang bersifat kebendaan. Orientasi hakikat puisi selalu mengarah kepada hal-hal yang bersifat spiritual. Dengan demikian pembelajaran penulisan kreatif puisi, sebagai sarana pembentukan pribadi paripurna, baik diarahkan pada upaya pembentukan watak dan pribadi yang kreatif yang berbasis pengembangan spiritual.

Sebagai tindak lanjut implementasi strategi “Re-kreasi”, sebagai penambah pengalaman individu, pengajar dapat memilih dan memilah bahan berupa puisi yang bercorak lirik, epik, atau dramatik. Puisi berjenis lirik dikenal puisi yang tergolong kognitif, afektif, dan ekspresif. Dalam puisi epik dikenl puisi berupa epos, fabel, dan balada. Dalam puisi dramatik dikenal ode, himne, elegi, satir, dan parodi. Bahan-bahan itu dapat dilatihkan dan pembelajar melakukan eksplorasi seluas-luasnya. Dalam pengimplementasian strategi “Re-kreasi” dapat ditempuh tahap (1) penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap rekreasi.

Akhirnya perlu dicatat bahwa bahan-bahan pembelajaran dalam pengimplemasian strategi “Re-kreasi” perlu diusahakan secara bervariasi. Variasi bahan-bahan pembelajaran untuk “merangsang” pembelajar dalam pembelajaran menulis kreatif puisi hendaknya mempertimbangan (1) bahasa, (2) psikologi pembelajar, dan (3 latar belakang budaya yang sesuai dengan kondisi pembelajar.
Baca puisi (poetry reading) di hadapan audien hakikatnya masuk dalam wilayah performance. Dalam baca puisi, pembaca berusaha merealisasikan kembali perwujudan bunyi yang semula tertuang dalam bentuk ideografi. Pembaca puisi berupaya mengungkapkan suatu ide dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan. Bunyi bahasa yang indah adalah bunyi bahasa yang euphonic, musical, ritmis, ornamentic dan symbolic yang “mengenakkan” pendengaran kita (volume suara yang sangat mengesankan, tidak terlalu kuat, tidak terlalu lemah, tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar, tidak menyakitkan telinga). Keindahan bunyi itu juga disebabkan oleh realisasi bunyi yang bersifat artikulatif.
Pembaca puisi harus mampu mengucapkan bunyi-bunyi vokal: a, i, u, e, o dan bunyi-bunyi konsonan seperti k, l, m, r, d, dan seterusnya sesuai dengan proses kewajaran. Apabila volume suara sudah cukup dan artikulasinya sudah tepat, aspek lain yang harus diperhitungkan adalah bunyi pembawaan (performance). Bunyi ini didukung oleh bunyi-bunyi kuantitatif: panjang-pendeknya ucapan, keras-lemahnya tekanan, lama-singkatnya ucapan yang umumnya disebut tempo. Peranan subjektif dan kreatif ikut menentukan sukses-tidaknya dalam membaca puisi secara estetis.

Aspek lain yang penting dikuasai oleh pembaca puisi adalah aspek dinamis. Aspek dinamis ini lebih sulit diketahui secara langsung oleh pembaca puisi. Aspek dinamis biasanya dipakai untuk membaca persamaan dan perbedaan, perulangan, dan selingan bunyi yang tampil pada larik-larik puisi. Bagian-bagian yang perlu mendapatkan tekanan dinamis adalah bagian-bagian puisi yang perlu mendapatkan intensifikasi pengertian. Lambang-lambang yang menyatakan berbagai perasaan, misalnya bimbang, ragu-ragu, kepastian, harapan,dan sebagainya direalisir dengan memperkecil aspek dinamisnya, yakni dengan cara melemahkan pembacaan, mengurangi tekanan, melambatkan tempo, dan meninggikan nada pengucapan. Semua ini berkaitan dengan penjiwaan puisi.

Setiap pembaca puisi harus memperhatikan (1) pemanfaatan alat ucap, (2) menguasai faktor kebahasaan, dan (3) menguasai performance. Pertama, pemanfaatan alat ucap. Setiap orang yang normal memiliki alat ucap. Yang menjadi masalah ialah bagaimana pembaca puisi dapat memanfaatkan alat ucap secara maksimal dalam membaca puisi secara estetis? Alat ucap itu dimanfaatkan untuk merealisasikan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda.
Kedua, penguasaan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda. Pelafalan ialah usaha untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa, baik suku kata, kata, frasa, maupun kalimat. Pelafalan dalam membaca puisi maksudnya ialah pelafalan bunyi bahasa sesuai dengan jiwa dan tema puisi. Intonasi dalam pembacaan puisi menyangkut ketepatan penyajian tinggi-rendah irama puisi. Irama ini dapat diperoleh dengan mempertimbangkan berbagai jenis tekanan, yaitu (1) tekanan dinamik (tekanan pada aspek yang ditekankan), (2) tekanan nada (tinggi-rendahnya pengucapan), dan (3) tekanan tempo (panjang-pendeknya pengucapan).
Ketiga, penguasaan performance meliputi (1) sikap wajar dan tenang,(2) gerak-gerik dan mimik, (3) volume suara, dan (4) kelancaran dan kecepatan. Pembaca puisi yang baik bisa bersikap wajar dan tenang; gerak-gerik dan mimiknya (ekspresi wajah) menggambarkan bahwa ia dapat memahami dan menghayati puisi yang dibacanya dan secara tepat dapat mendukung (menghidupkan) puisi yang dibacanya; pembaca puisi yang berpengalaman dapat menyesuaikan volume suara dengan tempat, jumlah penonton, dan ada-tidaknya pengeras suara. Kelancaran, kecepatan, dan ketepatan pembacaan puisi dapat mendukung kesuksesan dalam membaca puisi cecara estetis.
Bagaimanakah cara agar pembaca puisi penampilannya komunikatif, indah, dan memikat penikmat? Pembaca puisi minimal harus memiliki (1) penghayatan, (2) pelafalan, dan (3) penampilan. Penghayatan adalah pengalaman batin. Pembaca puisi sebaiknya memahami dan menghayati apa yang dirasakan oleh penyair pada saat menciptakan puisinya, memahami dan menghayati persoalan yang ditulis di dalam puisi, menangkap nada dan suasana puisi yang dibacanya. Selain itu, pembaca puisi perlu menguasai pelafalan yang meliputi kejelasan ucapan, artikulasi, kemerduan, dan kesesuaian tekanan dinamik (keras-lamah), tekanan tempo (cepat-lambat), tekanan nada (tinggi-rendah), dan modulasi (perubahan bunyi desah, gestur,dll.), tidak mengkorupsi dan menambah kata. Aspek penampilan meliputingerak kecil, gerak besar, dan mimik. Oleh karena itu, untuk mendukung penampilannya, pembaca puisi perlu menciptakan kondisi psikologis seperti pemusatan pikiran, percaya diri, dan memiliki pemahaman yang tepat secara kontekstual.
Berikut ini dikemukakan resep jitu untuk membaca puisi secara estetis.
(1) Berhasil-tidaknya penampilan baca puisi secara estetis bergantung apakah pembaca puisi memiliki rasa percaya diri (PD). Percaya diri ini merupakan gejala psikologis yang berkaitan dengan luas-sempitnya wawasan, pengetahuan, dan pengalaman si pembaca puisi. Semakin luas wawasan, pengetahuan, dan pengalaman maka semakin besarlah rasa percaya dirinya.
(2) Untuk membaca puisi secara estetis diperlukan pemahaman terhadap isi puisi yang akan dibaca. Pembaca puisi yang memiliki pemahaman isi puisi secara tepat dimungkinkan dapat membaca puisi secara tepat pula. Pemahaman terhadap isi puisi merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pembaca puisi. Dengan dasar pemahaman itulah si pembaca puisi dapat menghayati isi puisi.
(3) Membaca puisi secara estetis menuntut penguasaan penampilan (ekspresi). Suasana sedih, gembira, murung, atau marah dapat diekspresikan dengan berbagai cara: sorot mata, raut wajah, dan gerakan tangan dan kaki. Ekspresi yang baik tentulah bertolak dari tema, nada, dan suasana puisi.
(4) Penguasaan irama (ritme) pembacaan dengan memperhatikan berbagai variasi pembacaan dapat menunjang keberhasilan penampilan baca puisi secara estetis. Bedakan pembacaan tanda baca koma, titik, tanda seru, tanda tanya dalam larik-larik puisi.
(5) Membaca puisi dengan perasaan atau tidak tentu sangat berbeda. Pemanfaatan emosi haruslah tepat takarannya. Makin wajar emosi, makin berhasil dalam penampilan.
(6) Penguasaan panggung dan arena juga perlu disiasati oleh pembaca puisi. Kuasailah arena dengan berbagai cara, misalnya berjalan ke kanan, ke kiri, atau ke belakang dengan langkah dinamik dan ritmik.
(7) Atur nafas baik-baik, jangan sampai terputus atau terbatuk dan dapat merusak suasana dan keindahan baca puisi. Nafas yang baik digunakan oleh pembaca puisi adalah nafas diafragma, bukan nafas dada.
(8) Pusatkan pikiran dan perhatian (konsentrasi) hanya pada pembacaan puisi, jangan memperhatikan hal-hal lain di luar pembacaan puisi. Jangan terganggu oleh suara orang lain.
(9) Ketika tampil membaca puisi, usahakan berkas puisi jangan menutupi wajah, sehingga menghalangi penonton menikmati ekspresi pembaca puisi.

Rujukan
Hasanuddin, 2002. “Problematik Pendidikan dan Pengajaran Sastra di Sekolah: Pembelajaran Tanpa Guru Berkualitas” Makalah disajikan dalam PILNAS HISKI di Yogyakarta 8-9 September 2002.
Sayuti, Suminto A. 2000. “Menuju Pendidian dan Pengajaran Sastra yang Memerdekakan”. Dalam Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan.Yogyakarta: Muhammadiyah University Press dan HISKI Komisariat Surakarta.
Sayuti, Suminto A. 2003. “Menuju Pengajaran Bahasa dan Sastra yang Bermakna”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta: 14-17 Oktober 2003.
Sudaryono. 1992. “Pengajaran Sastra Belum ‘Merdeka’”. Dimuat Harian Pelita Edisi Minggu, 26 Juli 1992, hal. 5.

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...