Tuesday, August 7, 2012

-cerpen- Cerita Lalu


CERITA LALU
Oleh: Melly Ai
Riri benar-benar menikmati hembusan angin yang dibiarkan membelai lembut rambut panjangnya. Sedangkan matanya, tetap terus terfokus pada suasana pemukiman yang ada di seberang sungai Batanghari. Langit mulai berpendar memancarkan jingga keemasannya menambah eksotis kawasan Tanggo Rajo. Riri memalingkan pandangannya ke arah lain. Beralih menikmati matahari yang secara perlahan turun kembali keperaduan. Baginya, inilah kedamaian yang beberapa waktu ini hilang dari kehidupannya.

Petang telah pasti berganti malam. Tapi entah mengapa Riri seolah terpaku dengan suasana yang membiusnya saat ini. Sungguh berat untuk beranjak meninggalkan keindahan alam dikala pergantian malam. Semua seolah mengguratkan cerita yang telah lalu.
***
"Kamu ngga jemput dia di bandara, Ri?" Mela terus memencet tuts keyboard komputer yang ada dihadapannya. Deadline berita untuk besok sudah harus dikumpulkan beberapa saat lagi. Meski begitu, ia masih memedulikan Riri yang sejak tadi hanya termenung sambil terus melihat handphone yang tak juga berdering.
“Buat apa? Sepertinya dia ngga perlu aku jemput. Dari tadi aku hubungi, nomornya ngga aktif. Lagian, aku juga lupa bawa motor. Gimana mau kesananya?” Riri menjawab pertanyaan Mela panjang lebar. Mela menghentikan pekerjaannya sejenak. Ada rasa iba muncul saat dirinya melihat wajah Riri yang sangat tak semangat hari ini. “Kamu kan bisa pake motor aku. Nih kuncinya. Gih, sana pergi,” ujar Mela sambil menyodorkan kunci si Pinky, motor kesayangannya. Riri ragu untuk menerimanya. Ia masih belum yakin untuk pergi. Karena tak ada respon dari lawan bicaranya, Mela akhirnya meletakkan kunci si Pinky di atas meja dan kembali berkutat dengan pekerjaannya. “Aku belum bisa pastiin, dia sudah sampai atau belum, Mel. Kan sia-sia aja kalo aku sampe sana, ngga taunya dia belum nonggol. Lagian, dia ngga ngabarin aku lagi apa jadi berangkat hari ini atau ngga,” Riri memberikan alasan sekenanya. Sebenarnya, Riri sangat ingin menjemput Deri, kekasihnya, yang hari ini dijadwalkan pulang dari tugas di luar kota. Riri juga sudah kangen berat karena 2 bulan tidak bisa bertemu. Namun, hari ini, dimana waktu yang tepat untuk bisa kembali memeluk pujaan hatinya, Riri malah ragu untuk menemuinya. Demi meyakinkan dirinya sekali lagi, Riri mencoba kembali menelpon nomor Deri. Namun sayangnya, jawaban yang ia terima masih sama. Nomor ponsel Deri masih tidak dapat dihubungi alias tidak aktif.
“Masih sama, ngga aktif nomornya. Mungkin dia ngga jadi balik hari ini.”
“Ya udah. Ngga usah manyun gitu. Bentar lagi ketikanku selesai. Abis itu kita jalan-jalan aja yuk,” ajak Mela berusaha untuk menghibur Riri agar bisa melupakan kerisauan hatinya saat ini.
Riri mendonggakkan kepalanya. “Mau kemana kita?” Riri merespon ajakan Mela barusan.
Mela mengetuk jari telunjuknya beberapa kali ke meja kerja. Seolah berpikir sejenak untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari bibir Ririr barusan. “Hemmm... gimana kalo kita ke taman anggrek aja? Lagiankan, kamu udah janji mau ngajakin aku kesanan dari kapan tau. Tapi belum bisa juga. Nah, sekarangkan lagi ngga ada kerjaan nih, jadi tar kita kesana aja,” tawar Mela.
“Ngga ada kerjaan gimana? Kamu aja masih berkutat sama ketikanmu itu,” Riri berujar sambil menunjuk ke layar monitor komputer seraya memberitahu bahwa sahabatnya itu masih harus menyelesaikan pekerjaannya.
“Oh..., ini sih gampang. Bentar lagi juga selesai. Gimana? Mau ngga?” tanya Mela sekali lagi. Riri menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Oke deh,” jawabnya setuju.    
***
Meskipun seharian ini Riri telah menghabiskan waktu bersenang-senang bersama Mela, namun pikirannya masih terpaku pada Deri. Sebenarnya, dimana dia sekarang? Kenapa aku ngga bisa menghubungi dia, Riri berujar dalam hati. Malam ini, Riri masih terus mencoba untuk menelpon. Tapi tetap saja suara operator yang memberitahukan bahwa nomor yang dihubunginya sedang tidak aktif. Riri hanya bisa menghembuskan napas panjang.
“Lebih baik sekarang aku tidur. Siapa tau besok aku sudah bisa menghubunginya,” celoteh Riri pada dirinya sendiri.
“Kemana saja kamu? Dari kemaren aku ngga bisa ngubungin nomor kamu, Sayang!” kemarahan Riri memuncak saat ia berhasil menghubungi Deri via telpon pagi ini.
Yang ditelpon hanya menjawab sekenanya. “Baterenya habis. Makanya aku ngga bisa kasih tau kamu. Lagian, aku pengen bikin surprise buat kamu,” sebuah suara menjawab diseberang telpon.
“Jadi, sekarang kamu dimana?”
“Aku udah di rumah. Besok saja kita ketemuannya. Aku masih capek...”
Tut.. tuuttt.. tuutttt...
Hubungan telpon terputus. Riri geram dengan kelakuan Deri yang seenaknya saja memutuskan sambungan telpon. Riri benar-benar tak habis pikir dengan perubahan perilaku Deri selama beberapa bulan belakangan ini, semenjak Deri ditugaskan keluar kota. Meskipun banyak berita negatif yang ia peroleh dari teman sejawat Deri yang juga ikut ditugaskan, namun Riri masih saja bersikukuh bahwa semuanya baik-baik saja. Riri masih beranggapan bahwa Deri terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga ia tak bisa menghubungi dirinya.
Hingga beberapa hari kemudian, Riri dikejutkan dengan sebuah pesan yang masuk ke inboxnya.
Maaf, aku mau kita putus!
Riri terkejut dengan apa yang tertera di layar ponselnya. Apa maksudnya ini, ujar batinnya. Riri segera menghubungi nomor yang sudah sangat dikenalnya itu. Nada sambung terdengar. Namun, tak ada yang menjawab telponnya dari seberang. Riri mencobanya sekali lagi, dan hasilnya nihil. Justru dia kembali menerima sebuah pesan yang memintanya supaya jangan menghubungi nomor itu lagi.
Apa maksud kamu? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Memangnya salah aku apa?! Tolong beri aku penjelasan!
Semenit, dua menit, setengah jam, satu jam... Tak ada balasan. Riri tak puas dengan keadaan yang terjadi padanya saat ini. Riri mencoba menenangkan dirinya sendiri. Hingga ia teringat kepada seseorang yang dirasanya dapat membantunya untuk menemukan jawaban dari keadaan ini.
“.... jadi, sudahlah Ri, ngga usah lagi kamu harapkan dia. Karena sekarang dia sudah bersama perempuan itu....”
Riri seolah tersambar petir saat mengetahui kondisi yang sebenarnya dari seseorang yang memberitahukan mengenai perubahan sikap Deri terhadap dirinya.
“Jadi... dia... sekarang....” Riri tak dapat melanjutkan ucapannya. Air mata mulai mendarat dipipi. Riri benar-benar tak menyangka akan mengalami hal seperti ini.
“Baiklah, terima kasih buat informasinya,” Riri mengakhiri pembicaraan.
Sejak saat itu, Riri tak dapat lagi menghubungi Deri yang seolah lenyap ditelan bumi bersama kebohongan yang tak pernah diakuinya.
***
Hampir tiga bulan lamanya Riri hanya bisa diam membisu. Keceriaan seolah enggan menghampirinya. Semua hal-hal yang berhubungan dengan Deri, telah dia simpan rapi. Riri tak ingin lagi hidup bersama dengan kenangan pahit dari seorang lelaki yang tak memiliki nyali untuk mengakui bahwa dia telah menduakan dirinya. Riri pun sempat mengalami trauma psikis jika melihat beberapa benda yang ada hubungannya dengan Deri. Riri terpuruk akan perasaan cinta semu yang Deri hadirkan dalam hidupnya.
Untuk menghilangkan bayang-bayang Deri dalam benaknya, Riri melampiaskannya dengan menyibukkan diri di berbagai kegiatan. Riri seolah tak peduli dengan dirinya lagi. Ia ingin memenuhi pikirannya dengan beban pekerjaan ketimbang harus kembali menangis karena teringat perbuatan yang mengiris hatinya. Riri membangun kembali kepercayaan diri yang sempat terpuruk dan menghilang beberapa waktu. Setidaknya, upaya yang dilakukannya kini telah membuahkan hasil. Beberapa cita-cita yang sedari dulu sulit dicapainya karena beberapa aturan yang ditetapkan oleh Deri, kini bisa diraihnya dengan mudah. Riri kini seolah berada di atas awan. Apa yang ia inginkan, dengan mudah bisa ia dapatkan.
“Aku tau, kamu bisa dapatkan apa yang kamu mau, meskipun tanpa dia!”
Sebuah suara mengejutkan Riri. Lamunannya ditepian sungai Batanghari, buyar seketika. Riri menoleh sejenak ke sumber suara, kemudian kembali untuk menikmati keadaan sekelilingnya. Tak sadar entah berapa lama ia duduk termangu mengenang cerita pahit cintanya masa lalu. Hingga malam benar-benar telah menyapa.
“Yah, aku bisa bertahan tanpa dia. Dia bukan segalanya dalam hidupku. Ternyata, aku memang salah telah menitipkan hatiku kepada seseorang yang bermental pengecut seperti dia,” Riri menimpali pernyataan sebelumnya.
“Tapi....” Riri tak bisa melanjutkan ucapannya.
“Tapi apa?” suara itu terdengar sangat penasaran. Ia ingin tau apa sebenarnya yang ingin Riri ungkapkan.
“Tapi, ditempat ini... ada banya cerita antara aku dan dia...” Riri berucap nanar. Bening air mengenang dipelupuk matanya. Sekuat hati Riri menahan agar bulir bening itu tak lagi jatuh sia-sia.
“Seiring waktu, cerita itu akan berganti dengan lembar yang baru. Aku sangat mengerti. Dan biarkan semuanya tertutup di lubuk hatimu yang paling dalam. Dan... izinkan aku untuk menemanimu mengisi catatan hati yang baru...”
Riri menyambut uluran tangan yang memintanya untuk segera berdiri dari duduknya. Sejenak, Riri membereskan pakaiannya yang berdebu.
Sepenuhnya, Riri menyadari bahwa semua itu hanya cerita masa lalu. Sedangkan saat ini, Riri telah siap menyongsong cerita baru dengan seseorang yang lebih berani menyatakan diri ingin menemaninya menjalani kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
“Terima kasih telah menerimaku dengan semua cerita masa silamku,” ujar Riri kepada seseorang yang kini siap untuk menemaninya hingga waktu yang tak terduga. ***  

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...