Wednesday, January 12, 2011

Cerpen Dadakan

Malaikat Subuh

Oleh: Melly Ai

Langit masih tampak enggan untuk menampakkan sinar mentari. Pancaran hangat itu akan tetap tersimpan hingga beberapa waktu kemudian. Suara jangkrik nan mengalun bersahut-sahutan, menandakan bahwa malam masih merajai hari. Sekiranya, orang-orang masih akan tetap berada diatas pembaringan dengan menikmati bunga tidur yang melambungkan angan hingga kekhayangan.

Namun, ketenangan malam yang tak lama akan menjelang pagi saat itu, sedikit terusik oleh deru motor yang tampaknya sangat tergesa-gesa dikendarai oleh si empunya. Entah apa yang ada dalam pikirannya, namun semua itu pasti terlihat dari kegelisahan yang terpancar dari raut wajahnya. Berulang kali ia mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang. Namun sayang, kegelisahan seakan enggan untuk beranjak pergi.

Sekiranya, ia telah menemukan jawaban atas kegelisahan itu. Dengan cekatan, ia segera memarkirkan sepeda motornya. Dan tanpa ragu lagi, beranjak ke depan pintu sebuah rumah. Bukanlah rumah yang mewah. Hanya sebuah rumah sederhana berpagarkan susunan deretan kaca piring yang tertata apik setinggi 1 meter. Di depan pintu rumah bercat kuning gading itu, lelaki yang sejak tadi diburu oleh kegelisahan amat sangat berharap belas kasih dari tuan rumah ini. Dengan tempo cepat, ia telah sibuk mengetuk pintu sambil memanggil nama yang punya rumah.

“Bang… Bang Basril….!”

Ketukan pintu dan suara panggilan itu untuk beberapa saat tak ada yang merespon. Kembali ia lakukan hal itu hingga seseorang terdengar menanggapi aksinya.

“Ya… iya.. iya… Sebentar,” suara perempuan separuh baya terdengar dari dalam rumah. Lelaki itu mulai terlihat sedikit tenang. Namun ia masih sibuk menanti kapan pintu rumah itu akan terbuka.

Dari dalam rumah, seorang perempuan dengan dengan daster batiknya, tengah sibuk mencari kunci pintu dilaci lemari pajangannya. Setelah mengaduk-aduk salah satu laci lemari pajang tersebut, akhirnya kunci itu ditemukan juga. Segera ia bergegas membukakan pintu untuk tamu yang cukup membuatnya terkejut di sepertiga malam ini. Ketika pintu telah terbuka, tampaklah seorang pria yang sekiranya berumur 30 tahunan, berjalan mondar-mandir tak tentu arah diteras rumah sambil terus meremas ujung baju kemejanya.

“Ya, ada apa?”

“Mbak, ini aku mbak, Eri. Maaf mbak, bisa tolong bangunkan Bang Basri, Mbak?”

“Eri mana ya?” tanya wanita itu masih setengah sadar.

“Eri transito, Mbak ,” ujar lelaki itu sambil menyebutkan dimana lokasi ia tinggal. Sejenak, kening wanita itu berkerut. Bagaikan secepat kilat, ingatannya langsung tersambungkan.

“Oh… Eri Transito. Iya ada apa, Ri?” tanyanya lagi dengan sedikit senyuman ramah.

“Mbak, apa Bnag Basri bias menolong aku mengantarkan Tuti, Mbak. Ia mau melahirkan, Mbak,” akhirnya lelaki yang sedari tadi bertingkah resah tak karuan itu, mengutarakan juga maksud kedatangannya ke rumah itu.

Tiba-tiba dari dalam rumah, terdengar sebuah suara lelaki lain.

“Siapa itu, Bu?” tanyanya sambil terus berjalan mendekati pintu depan rumah, dimana dari luar ia bisa melihat seorang lelaki yang sedari tadi bercakap-cakap dengan istrinya.

“Ini aku bang, Eri. Bang, apa abang bisa bantu aku mengantarkan istriku ke klinik bersalin yang ada didepan Kuburan Cina? Ia mau melahirkan, Bang,” seru lelaki yang sedari tadi menyebutkan dirinya dengan Eri.

“Iya pak, ini Eri yang tinggal ditransito itu. Istrinya mau melahirkan. Ia minta tolong sama bapak untuk mengantarkan istrinya. Bisa kan, Pak?” timpal istrinya.

Sang suami tak langusng mengiyakan permintaan istrinya. Karena masih dalam kondisi belum seratus persen sadar dari tidurnya, lelaki itu hanya bisa menatap pemuda didepannya dari ujung kaki hingga kepala.

“Oh…! Eri! Iya, aku ingat. Maaf, namanya juga orang baru bangun tidur, belum bisa langsung nyambung,” ujar Basri cengar cengir.

Eri hanya bisa membalas dengan sebuah senyuman pahit. Bagaimana tidak, karena pikirannya terlanjur kacau bila ia kembali mengingat istrinya yang sedang kepayahan dirumah.

“Jadi, bagaimana, Bang? Bisakan abang bantu aku? Ini kondisi darurat sekali!” pintanya memohon.

“Sudahlah, pak, bantu dia, ya. Sekarang bapak segeralah salin pakaian dulu,” ujar istri Basri sambil berlalu kembali ke dalam rumah.

“Baik, tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu.’

“Terima kasih, Bang. Aku tunggu di rumah saja ya. Aku tak tenang meninggalkan istriku sendirian.”

Basri mengiyakan apa yang diutarakan oleh Eri. Eri pun tanpa buang waktu langsung menghidupkan mesin motornya dan kembali untuk menemui istrinya di rumah.

***

Basri hanya bisa menunggu di dalam mobilnya. Sedangkan diruang tunggu, Eri tanpak sibuk mondar-mandir seperti cacing kepanasan. Basri sendiri sebenarnya masih merasa kantuk yang amat berat. Ia sendiri sudah beberapa hari ini begadang demi tugas kantornya. Pekerjaannya benar-benar menumpuk. Beberapa proyek harus segera terselesaikan. Tapi, mana mungkin pula ia meninggalkan Eri sendirian. Meskipun Eri sendirian sempat mengatakan pada Basri bahwa ia tidak apa-apa bila ditinggal. Namun, Basri sendiri tetep kekeuh ingin menemani Eri, meskipun hanya dari dalam mobil. Ia takut kalau-kalau Eri malah membutuhkan bantuannya lagi untk mengantarkan ke rumah sakit jika terjadi sesuatu dalam persalinan istri Eri. Siapa tahu? Tapi, semoga saja tidak. Karena ia sendiri berharap bisa kembali merajut mimpi.

Karena semilir udara yang masuk melewati kaca jendela mobil, Basri justru merasa seolah dibelai mesra oleh pagi. Tanpa sadar, ia justru melanjutkan tidurnya. Hingga akhirnya, sebuah goncangan hebat dirasa oleh tubuhnya.

“Bangun.. bangun, Bang.”

Basri tak langung membuka mata. Ia hanya sedikit menggeliat dan malah membetulkan posisi untuk siap kembali tidur. Namun, tampaknya seseorang yang tengah berusaha membangunkannya itu, tetap saja kembali mengguncang tubuhnya sampai akhirnya kelopak mata Basri terbuka lebar.

“Ada apa lagi, Ri? Apa mau diantarkan ke rumah sakit?” tanya Basri sambil menguap. Basri mencoba menggerak-gerakkan kepalanya karena ia merasa pusing setelah dibangunkan paksa untuk yang kedua kalinya.

“Keluarlah dulu, Bang.”

Basri tak banyak berkomentar. Ia lalu membuka pintu mobil dan menciba untuk berdiri walau masih sempoyongan.

Eri yang sedari tadi sempat merasa hati kacau tak karuan kini justru terlihat senyum sumringah. Wajahnya benar-benar cerah. Sampai-sampai ia tak mau kalah dengan sinar mentari yang hangat pagi ini.

“Anakku sudah lahir, Bang.”

“Benar? Syukurlah…! Lalu, laki-laki apa perempuan?”

“Dua-duanya.”

“Hah? Maksudmu?” Basri tampak tak mengerti akan jawaban singkat yang diberikan oleh Eri.

“Iya, Bang. Anakku kembar. Laki-laki dan perempuan,” jawab Eri bangga.

“Oh, syukurlah. Kalo begitu, selamat, ya. Kau kini sudah jadi ayah. Jaga mereka baik-baik. Aku mau pamit pulang dulu. Lagi pula, aku harus pergi ke kantor. Tugasku sudah menanti,” ujar Basri memberikan selamat sekaligus berpamitan untuk pulang.

“Tunggu, Bang. Aku ucapkan banyak terima kasih, ya. Karena, cuma abang yang mau membantu aku pagi-pagi buta tadi. Sebab, aku benar-benar bingung. Disini, aku tak punya keluarga. Dan aku pikir, abang tak mau membantuku karena masalah kemarin. Aku…” Eri tampak tak kuasa menahan haru atas kemurahan hati yang diberikan oleh Basri. Padahal sebelumnya, Eri adalah musuh besar Basri. Karena beberapa tahun silam, Eri sempat membuat Basri hamper terdepak dari kantornya. Eri menebarkan fitnah tentang Basri, bahwa Basri telah menyelundupkan sejumlah uang perusahaan untuk bersenang-senang. Padahal, tuduhan itu jelas-jelas tak beralasan. Malahan, justru Eri yang diketahui dengan sengaja mencoba brankas uang penyimpanan di ruang bendahara kantor. Karena perbuatan itu, Eri kini kehilangan pekerjaan. Dan untuk biaya persalinan istrinya pun, sesungguhnya ia tidak punya uang.

Tapi Basri bukanlah tipe orang pendendam. Basri menepuk bahu Eri dan mereka berpelukkan sebentar.

“Sudahlah, kau tak usah sedih begitu. Aku kan sudah memaafkan apa yang pernah terjadi itu. Aku mengerti akan kesusahanmu. Tenang saja, aku akan membantumu,” ujar Basri seraya menepuk bahu kanan Eri.

Semua yang terjadi, sungguh diluar dugaan Eri. Semula, ia pikir Basri tak akan mau memberikannya bantuan, meskipun hanya sekedar mengantarkan istrinya ke bidan. Tapi sekarang, ia justru mendapatkan lebih dari itu. Karena kejadian waktu itu, orang-orang yang pernah mengenal dirinya, lambat laun menjaga jarak dengannya. Mereka tak mau menjadi korban fitnah Eri seperti apa yang terjadi pada Basri.

Sekali lagi, Eri mengucapkan banyak terima kasih pada Basri. Baginya, Basri adalah malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untuk membantu dirinya yang hina ini. Dimana sinar kebaikkannya seindah mentari subuh menjelang pagi.

No comments:

Post a Comment

Jangan sebut kami BENGAK!

hari ini, dengan lantangnya, ia berkata, "Guru-guru di sini bengak !" aku yang hanya bisa mendengarkan dari dalam ruang guru, ter...