CERITA LALU
Oleh: Melly Ai
Riri
benar-benar menikmati hembusan angin yang dibiarkan membelai lembut rambut
panjangnya. Sedangkan matanya, tetap terus terfokus pada suasana pemukiman yang
ada di seberang sungai Batanghari. Langit mulai berpendar memancarkan jingga
keemasannya menambah eksotis kawasan Tanggo Rajo. Riri memalingkan pandangannya
ke arah lain. Beralih menikmati matahari yang secara perlahan turun kembali
keperaduan. Baginya, inilah kedamaian yang beberapa waktu ini hilang dari
kehidupannya.
Petang
telah pasti berganti malam. Tapi entah mengapa Riri seolah terpaku dengan
suasana yang membiusnya saat ini. Sungguh berat untuk beranjak meninggalkan
keindahan alam dikala pergantian malam. Semua seolah mengguratkan cerita yang
telah lalu.
***
"Kamu
ngga jemput dia di bandara, Ri?" Mela terus memencet tuts keyboard komputer
yang ada dihadapannya. Deadline berita untuk besok sudah harus dikumpulkan
beberapa saat lagi. Meski begitu, ia masih memedulikan Riri yang sejak tadi hanya
termenung sambil terus melihat handphone yang tak juga berdering.
“Masih
sama, ngga aktif nomornya. Mungkin dia ngga jadi balik hari ini.”
“Ya
udah. Ngga usah manyun gitu. Bentar lagi ketikanku selesai. Abis itu kita
jalan-jalan aja yuk,” ajak Mela berusaha untuk menghibur Riri agar bisa
melupakan kerisauan hatinya saat ini.
Riri
mendonggakkan kepalanya. “Mau kemana kita?” Riri merespon ajakan Mela barusan.
Mela
mengetuk jari telunjuknya beberapa kali ke meja kerja. Seolah berpikir sejenak
untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari bibir Ririr barusan.
“Hemmm... gimana kalo kita ke taman anggrek aja? Lagiankan, kamu udah janji mau
ngajakin aku kesanan dari kapan tau. Tapi belum bisa juga. Nah, sekarangkan
lagi ngga ada kerjaan nih, jadi tar kita kesana aja,” tawar Mela.
“Ngga
ada kerjaan gimana? Kamu aja masih berkutat sama ketikanmu itu,” Riri berujar
sambil menunjuk ke layar monitor komputer seraya memberitahu bahwa sahabatnya
itu masih harus menyelesaikan pekerjaannya.
“Oh...,
ini sih gampang. Bentar lagi juga selesai. Gimana? Mau ngga?” tanya Mela sekali
lagi. Riri menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Oke deh,” jawabnya setuju.
***
Meskipun
seharian ini Riri telah menghabiskan waktu bersenang-senang bersama Mela, namun
pikirannya masih terpaku pada Deri. Sebenarnya, dimana dia sekarang? Kenapa aku
ngga bisa menghubungi dia, Riri berujar dalam hati. Malam ini, Riri masih terus
mencoba untuk menelpon. Tapi tetap saja suara operator yang memberitahukan
bahwa nomor yang dihubunginya sedang tidak aktif. Riri hanya bisa menghembuskan
napas panjang.
“Lebih
baik sekarang aku tidur. Siapa tau besok aku sudah bisa menghubunginya,”
celoteh Riri pada dirinya sendiri.
“Kemana
saja kamu? Dari kemaren aku ngga bisa ngubungin nomor kamu, Sayang!” kemarahan
Riri memuncak saat ia berhasil menghubungi Deri via telpon pagi ini.
Yang
ditelpon hanya menjawab sekenanya. “Baterenya habis. Makanya aku ngga bisa
kasih tau kamu. Lagian, aku pengen bikin surprise buat kamu,” sebuah suara
menjawab diseberang telpon.
“Jadi,
sekarang kamu dimana?”
“Aku
udah di rumah. Besok saja kita ketemuannya. Aku masih capek...”
Tut..
tuuttt.. tuutttt...
Hubungan
telpon terputus. Riri geram dengan kelakuan Deri yang seenaknya saja memutuskan
sambungan telpon. Riri benar-benar tak habis pikir dengan perubahan perilaku
Deri selama beberapa bulan belakangan ini, semenjak Deri ditugaskan keluar
kota. Meskipun banyak berita negatif yang ia peroleh dari teman sejawat Deri
yang juga ikut ditugaskan, namun Riri masih saja bersikukuh bahwa semuanya
baik-baik saja. Riri masih beranggapan bahwa Deri terlalu sibuk dengan
pekerjaannya sehingga ia tak bisa menghubungi dirinya.
Hingga
beberapa hari kemudian, Riri dikejutkan dengan sebuah pesan yang masuk ke
inboxnya.
Maaf, aku mau kita putus!
Riri
terkejut dengan apa yang tertera di layar ponselnya. Apa maksudnya ini, ujar
batinnya. Riri segera menghubungi nomor yang sudah sangat dikenalnya itu. Nada
sambung terdengar. Namun, tak ada yang menjawab telponnya dari seberang. Riri
mencobanya sekali lagi, dan hasilnya nihil. Justru dia kembali menerima sebuah
pesan yang memintanya supaya jangan menghubungi nomor itu lagi.
Apa maksud kamu? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Memangnya salah aku
apa?! Tolong beri aku penjelasan!
Semenit,
dua menit, setengah jam, satu jam... Tak ada balasan. Riri tak puas dengan
keadaan yang terjadi padanya saat ini. Riri mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Hingga ia teringat kepada seseorang yang dirasanya dapat membantunya untuk
menemukan jawaban dari keadaan ini.
“.... jadi, sudahlah Ri, ngga usah lagi kamu harapkan
dia. Karena sekarang dia sudah bersama perempuan itu....”
Riri
seolah tersambar petir saat mengetahui kondisi yang sebenarnya dari seseorang
yang memberitahukan mengenai perubahan sikap Deri terhadap dirinya.
“Jadi...
dia... sekarang....” Riri tak dapat melanjutkan ucapannya. Air mata mulai
mendarat dipipi. Riri benar-benar tak menyangka akan mengalami hal seperti ini.
“Baiklah,
terima kasih buat informasinya,” Riri mengakhiri pembicaraan.
Sejak
saat itu, Riri tak dapat lagi menghubungi Deri yang seolah lenyap ditelan bumi
bersama kebohongan yang tak pernah diakuinya.
***
Hampir
tiga bulan lamanya Riri hanya bisa diam membisu. Keceriaan seolah enggan
menghampirinya. Semua hal-hal yang berhubungan dengan Deri, telah dia simpan
rapi. Riri tak ingin lagi hidup bersama dengan kenangan pahit dari seorang
lelaki yang tak memiliki nyali untuk mengakui bahwa dia telah menduakan
dirinya. Riri pun sempat mengalami trauma psikis jika melihat beberapa benda
yang ada hubungannya dengan Deri. Riri terpuruk akan perasaan cinta semu yang
Deri hadirkan dalam hidupnya.
Untuk
menghilangkan bayang-bayang Deri dalam benaknya, Riri melampiaskannya dengan
menyibukkan diri di berbagai kegiatan. Riri seolah tak peduli dengan dirinya
lagi. Ia ingin memenuhi pikirannya dengan beban pekerjaan ketimbang harus
kembali menangis karena teringat perbuatan yang mengiris hatinya. Riri
membangun kembali kepercayaan diri yang sempat terpuruk dan menghilang beberapa
waktu. Setidaknya, upaya yang dilakukannya kini telah membuahkan hasil.
Beberapa cita-cita yang sedari dulu sulit dicapainya karena beberapa aturan
yang ditetapkan oleh Deri, kini bisa diraihnya dengan mudah. Riri kini seolah
berada di atas awan. Apa yang ia inginkan, dengan mudah bisa ia dapatkan.
“Aku
tau, kamu bisa dapatkan apa yang kamu mau, meskipun tanpa dia!”
Sebuah
suara mengejutkan Riri. Lamunannya ditepian sungai Batanghari, buyar seketika.
Riri menoleh sejenak ke sumber suara, kemudian kembali untuk menikmati keadaan sekelilingnya.
Tak sadar entah berapa lama ia duduk termangu mengenang cerita pahit cintanya
masa lalu. Hingga malam benar-benar telah menyapa.
“Yah,
aku bisa bertahan tanpa dia. Dia bukan segalanya dalam hidupku. Ternyata, aku
memang salah telah menitipkan hatiku kepada seseorang yang bermental pengecut
seperti dia,” Riri menimpali pernyataan sebelumnya.
“Tapi....”
Riri tak bisa melanjutkan ucapannya.
“Tapi
apa?” suara itu terdengar sangat penasaran. Ia ingin tau apa sebenarnya yang
ingin Riri ungkapkan.
“Tapi,
ditempat ini... ada banya cerita antara aku dan dia...” Riri berucap nanar.
Bening air mengenang dipelupuk matanya. Sekuat hati Riri menahan agar bulir
bening itu tak lagi jatuh sia-sia.
“Seiring
waktu, cerita itu akan berganti dengan lembar yang baru. Aku sangat mengerti.
Dan biarkan semuanya tertutup di lubuk hatimu yang paling dalam. Dan... izinkan
aku untuk menemanimu mengisi catatan hati yang baru...”
Riri
menyambut uluran tangan yang memintanya untuk segera berdiri dari duduknya.
Sejenak, Riri membereskan pakaiannya yang berdebu.
Sepenuhnya,
Riri menyadari bahwa semua itu hanya cerita masa lalu. Sedangkan saat ini, Riri
telah siap menyongsong cerita baru dengan seseorang yang lebih berani
menyatakan diri ingin menemaninya menjalani kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang.
“Terima
kasih telah menerimaku dengan semua cerita masa silamku,” ujar Riri kepada
seseorang yang kini siap untuk menemaninya hingga waktu yang tak terduga. ***
No comments:
Post a Comment